Sebelum konflik kembali mencuat baru-baru ini, pemerintahan Assad menguasai sekitar 70 persen wilayah Suriah, menurut lembaga pemikir United States Institute of Peace.
Meningkatnya pertempuran dari gencatan senjata yang sebagian besar tidak aktif, meningkatkan kemungkinan terjadinya front kekerasan dan bergejolak lainnya di Timur Tengah.
Apakah pemerintahan Assad dapat bertahan dan makmur pada akhirnya bergantung pada seberapa besar campur tangan Rusia, Iran, dan Hizbullah, yang ketiganya telah memungkinkannya untuk tetap berkuasa.
Ayman Abdel Nour, mantan teman pemimpin Suriah semasa kuliah kedokteran di Damaskus dan pemimpin redaksi All4Syria, media berita independen terkemuka, mengatakan bahwa dalam beberapa minggu terakhir Assad menolak upaya Rusia untuk membuatnya bertemu dengan Erdogan menjelang masa jabatan kedua Presiden terpilih AS, Donald Trump.
Menurut Nour, pertemuan itu bertujuan untuk menemukan solusi jangka panjang bagi perang saudara Suriah yang telah berlangsung selama 13 tahun, khususnya terkait dukungan dari aktor non-negara seperti Hizbullah, pada saat Trump memberi isyarat bahwa ia ingin menarik sisa 900 pasukan AS di Suriah yang melawan pengaruh Iran.
"Kemajuan pesat oleh pasukan pemberontak, dikombinasikan dengan manuver kekuatan eksternal dengan kepentingan yang saling bertentangan, membuat masa depan Suriah menjadi tidak pasti," kata Albasha.
AS, Jerman, Prancis dan Inggris menyerukan de-eskalasi di Suriah
AS, Jerman, Prancis, dan Inggris mengeluarkan pernyataan bersama pada hari Minggu (1/12/2024) yang menyerukan de-eskalasi kekerasan di Suriah.
Sekutu NATO mengatakan mereka memantau dengan saksama perkembangan di Suriah, tempat 255 orang, sebagian besar militan, telah tewas sejak Rabu (27/11/2024) lalu, menurut Syrian Observatory for Human Rights.
Dalam pernyataan bersama mereka, negara-negara tersebut mendesak de-eskalasi untuk melindungi warga sipil dan infrastruktur guna mencegah pengungsian lebih lanjut dan gangguan akses kemanusiaan.
Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan mengatakan lebih dari 14.000 orang, termasuk anak-anak, telah mengungsi akibat kekerasan dalam beberapa hari terakhir.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)