"Baik Rusia maupun Iran saat ini kewalahan karena perang mereka masing-masing dengan Ukraina dan Israel," jelas Quilliam.
Kelemahan aliansi ini menciptakan celah besar dalam pertahanan Assad, memungkinkan pemberontak untuk mengambil alih dengan cepat.
Kejatuhan rezim Assad dipandang oleh beberapa analis sebagai potensi penguat posisi Ukraina dalam perundingan damai dengan Rusia.
Quilliam percaya bahwa ini memberi keyakinan baru kepada pihak-pihak yang menentang perang Rusia di Ukraina bahwa Rusia dapat dikalahkan.
"Keluarnya Rusia dari Suriah menunjukkan bahwa Rusia tidaklah tak terkalahkan," katanya.
Walaupun demikian, dampak langsung dari keruntuhan Assad terhadap perundingan damai di Ukraina masih belum jelas.
Menurut Sascha Bruchmann, analis militer di Institut Internasional untuk Studi Strategis, penting bagi perubahan persepsi di seluruh dunia untuk terjadi agar dampak ini dapat terlihat dalam bentuk perubahan nyata dalam negosiasi.
Rusia kini dihadapkan pada risiko besar kehilangan pangkalan militer penting di Suriah, termasuk pangkalan angkatan laut Tartus dan pangkalan udara Khmeimim.
TASSmelaporkan bahwa pemberontak telah mengambil alih provinsi Tartus dan Latakia, yang menjadi lokasi pangkalan-pangkalan tersebut.
"Sulit untuk membayangkan bahwa Rusia akan mampu mempertahankan pangkalannya," kata Quilliam.
Dalam menghadapi situasi ini, Rusia mulai menarik aset angkatan laut dan militernya dari Suriah.
Erwin van Veen, pakar Timur Tengah di Clingendael Institute, mencatat bahwa penarikan ini dilakukan untuk menghindari skenario buruk seperti penarikan mendadak yang terjadi di Kabul.
Meskipun ada upaya untuk merundingkan keamanan, analis menyatakan bahwa mempertahankan pangkalan-pangkalan tersebut akan menjadi tantangan besar bagi Rusia.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)