Armada jet yang dimilikinya saat itu adalah pesawat DC-10, DC-9, DC-8, dan F-28.
Pada masa itu, Garuda mengalami modernisasi, sehingga logo pun diperbaharui dengan tulisan “Garuda” dan garis berwarna oranye.
Perkembangan perusahaan yang terus melesat pada tahun 1980-an, mendorong Garuda untuk mendatangkan pesawat berbadan lebar Boeing 747-200 dan membeli Airbus A300B4 FFCC (Forward Facing Crew Cockpit).
Pada era ini, armadanya adalah Boeing 747-200, DC-10, Airbus A300B4, DC-9, dan F-28. Pada saat itu pula, Garuda memiliki 36 unit pesawat F-28, sehingga menjadi operator F-28 terbesar di dunia.
Namun di balik kemajuan itu, kesejahteraan karyawan tidak diperhatikan.
Bahkan penumpang pun tidak mendapatkan pelayanan yang memuaskan, dibandingkan dengan yang ditawarkan maskapai penerbangan lain di Indonesia.
Sebagai contoh, kalau penerbangan lain untuk rute Jakarta-Surabaya mendapatkan makan atau roti-roti kecil serta minuman yang memadai, di Garuda hanya mendapat permen dan air putih.
Dari hal-hal yang terjadi tersebut, timbullah kegelisahan di kalangan karyawan, khususnya para pilot.
Kegelisahan para pilot ini terutama dipicu oleh perbedaan gaji dan fasilitas yang diterima pilot-pilot asing yang dikontrak Garuda. Capt Ari Sapari, mantan direktur operasi Garuda, pernah berujar, “Waktu saya masuk tahun 1970, gaji pilot asing 10 kali lipat gaji kami!”
Kondisi itu menyebabkan para karyawan merasa tidak puas.
Mereka membuat selebaran-selebaran yang ditempelkan di tempat-tempat yang mudah dibaca karyawan lain. Mereka pun berunjuk rasa di sekitar kantor Garuda hingga menjadi isu nasional.
Bahkan untuk menunjukkan aksinya sewaktu terbang, para pilot itu memakai gantungan di lehernya bertuliskan “Resah”, yang menimbulkan rasa waswas penumpang.
Pada 17 Januari 1980, beberapa karyawan dan pilot mengadakan rapat yang dipimpin oleh Capt Subekti dan Capt Henry Sumolang.
Mereka sepakat untuk melakukan unjuk rasa ke DPR.