Bahkan hasil pertemuan ini menyepakati untuk melakukan aksi pemogokan!
Informasi tersebut dilaporkan oleh Slamet kepada Pangdam Jaya Norman Sasono selaku Laksusda Jaya, yang kemudian dilaporkan kepada Pangkopkamtib.
Walaupun informasi tentang para pilot yang akan melakukan pemogokan itu diragukan kebenarannya, tapi pihak Garuda tetap melakukan antisipasi dan opsi tindakan. Opsinya itu adalah akan menyewa pilot-pilot asing.
Tak lama setelah tragedi kiriman granat dalam salak itu terjadi, hasil intelijen mengungkapkan, ternyata si pengirim memperoleh granat yang diambilnya dengan tangan memakai sarung tangan secara diam-diam dari gudang Rindam V/Jaya di Condet, Jakarta.
Granat itu adalah granat latihan, tapi bisa melukai bahkan membunuh apabila dipasang detonator. Nah, ia mengambil granat yang diyakininya tidak ada detonatornya.
Dalam perjalanan setelah mengambil granat, ia mampir ke penjual salak di Condet dan membeli 20 buah salak Condet.
Sampai di rumahnya, ia membuat dua paket, yang masing-masing berisi satu granat dan 10 buah salak untuk menyamarkan keberadaan granat.
Dia memasukkan granat dan salak-salak itu menggunakan sarung tangan. Sarung tangan tetap dipakainya, ketika malam hari ia membungkus dua paket itu dengan rapi dan mencantumkan alamat.
Keesokan harinya, ia bersiap untuk mengirimkan paket-paket tersebut. Dengan memakai rambut palsu (wig) dan baju seragam mirip karyawan Garuda, ia berangkat seorang diri ke tempat pengiriman barang Elteha di Bogor.
Pada era itu, pengiriman barang belum menggunakan detektor seperti saat ini.
Paket-paket pun tiba esok harinya di tempat tujuannya: Wiweko dan Lumenta. Gemparlah kantor pusat Garuda!
PENULIS: Reni R. & Remigius S/Majalah Angkasa