Slamet sebagai Dandem Intel melaporkan hal tersebut kepada Pangdam V/Jaya Mayjen Norman Sasono, setelah mengecek kebenaran informasi tersebut.
Dalam rapat yang dipimpin Pangkopkamtib Sudomo dan dihadiri Wiweko, Lumenta, dan Gubernur DKI Jakarta Tjokropranolo, informasi tersebut disampaikan oleh Norman.
Namun Wiweko tak percaya. Wiweko mengatakan, ”Onmogelijke, onmogelijke, mijn jongens zaal dat niet doen (Itu tidak mungkin, itu tidak mungkin, pilot saya akan melakukan yang seperti itu).”
Ternyata betul, unjuk rasa ke DPR terjadi. Unjuk rasa 30 karyawan dan pilot Garuda yang dipimpin oleh Capt Subekti dan Capt H Sumolang itu berlangsung pada 29 Januari 1980.
Tentu saja pimpinan Garuda, khususnya Wiweko, terkejut.
Beberapa hari kemudian, Slamet mendengar informasi bahwa ada 7 orang dari antara pengunjuk rasa itu melakukan “pertemuan” pada malam hari di daerah Kebayoran.
Slamet pun mendatangi mereka. Kemudian Slamet meminta mereka datang ke kantor Deninteldam Jaya di Jalan Lapangan Banteng untuk dimintai keterangan.
Mereka kemudian diperiksa dan diwawancara. Dari cerita-cerita dengan segala alasan dan argumentasi yang mereka ungkapkan, Slamet pun mengetahui, mengapa mereka berbuat demikian.
Keluh-kesah mereka lantas ditampung dan dibuat laporan ke Pangdam Jaya untuk disampaikan kepada Pangkopkamtib sebagai masukan kepada direksi dan manajemen Garuda.
Slamet sempat menasihati mereka untuk tidak berbuat hal-hal yang melanggar hukum.
Capt Subekti, Capt Herman Rante, dan dua pilot lain, kemudian ia ajak untuk menghadap Sudomo atas permintaannya selaku Pangkopkamtib pada 31 Januari 1980.
Sudomo menasihati mereka untuk jangan melakukan pemogokan.
Rupanya nasihat itu tidak ditaati. Mereka mengadakan pertemuan lagi pada 2 Februari 1980 malam di rumah Capt Herman Rante di Pasar Minggu.
Hadir para pilot Garuda, antara lain, Capt Subekti, Capt Ari Singgih, Capt Purwoko, Capt Aristono, Capt Jalma Santoso, Capt T Budiarjo, Capt H Suniar, dan Capt A Andries.