TRIBUNNEWS.COM - Stunting dan obesitas pada anak menjadi permasalahan lama yang dihadapi sebagian ibu di Indonesia.
Selain gizi kurang atau stunting, anak juga dapat mengalami gizi lebih atau obesitas.
Menurut WHO, stunting adalah gangguan tumbuh kembang anak yang disebabkan kekurangan asupan gizi, terserang infeksi, maupun stimulasi yang tak memadai.
Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan RI, Dr. Dhian Probhoyekti, SKM, MA, mengatakan permasalahan gizi tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi di dunia.
Permasalahan gizi anak menjadi fokus secara global.
Baca juga: Kemenkes Akui Sulit Hindari Kenaikan Kasus Omicron Transmisi Lokal
Dikutip dari laman Kemenkes, berdasarkan survei Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 menyebutkan prevalensi stunting di Indonesia adalah 24,4 persen.
Jumlah tersebut masih jauh dari angka prevalensi yang ditargetkan dalam rpjmn 2020-2024, yakni 14 persen.
Sementara itu, berdasarkan Riskesdas 2018 prevalensi obesitas pada Balita sebanyak 3,8 persen dan obesitas usia 18 tahun ke atas sebesar 21,8 persen.
Target angka obesitas di 2024 tetap sama 21,8 persen dan diarahkan untuk mempertahankan tingkat obesitas agar tidak naik.
Dampak Stunting dan Obesitas
“Dampak masalah gizi stunting dan obesitas berdampak jangka pendek dan jangka panjang karena kedua masalah gizi ini menjadi indikator pembangunan kesehatan bangsa yang berpengaruh terhadap kualitas generasi penerus,” katanya dalam konferensi Hari Gizi Nasional ke-62 secara virtual, Selasa (18/1/2022).
Anak yang mengalami stunting akan gagal tumbuh.
Hal ini ditunjukkan dengan tinggi badan pendek dan perkembangan intelektual terhambat.
Dalam jangka panjang, dapat menimbulkan dampak pada gangguan metabolik yang meningkatkan risiko individu obesitas, diabetes, stroke, dan jantung.