"Kita harus memberitahu ke orang-orang. Seperti kasus siswi Gorontalo. Ini banyak sekali kecaman. Jadi membuat si anak perempuan ini mengalami reviktimisasi," tegasnya.
Reviktimisasi adalah kondisi ketika seseorang menjadi korban kembali atau berulang.
Selain child grooming, Zoya juga menyinggung soal adanya relasi kuasa di dalam kasus ini.
"Ada relasi kuasa. Ini dari guru. Takutlah dia. Tapi kok kayaknya jago banget. Kenapa orang berasumsi dia sudah pasti menikmati itu?Mau dia menikmati atau apa pun, sebagai orang dewasa, harusnya tidak memanfaatkan anak di bawah umur," tegasnya.
Apa lagi saat masih remaja, Prefrontal cortex (PFC) atau korteks prefrontal belum berkembang sempurna.
PFC adalah bagian otak yang berfungsi untuk mengatur fungsi eksekutif dan kognisi tingkat tinggi.
Zoya pun mencontohkan kasus siswi Gorontalo dengan film di tahun 1997 berjudul Lolita.
Di mana Lolita yang masih berada di usia anak, mengalami child grooming dari ayah tirinya.
"Seolah-olah memberikan kasih sayang dari ayah tiri. Dia sampai menikahi ibunya si Lolita. Demi untuk mendekati si Lolita ini. Serem kan?" Lanjutnya.
Zoya menekankan bahwa kasus kekerasan seksual terjadi karena ada niatan dari pelakunya sehingga masyarakat diminta untuk berhenti melanggengkan budaya menyalahkan korban.
"Para korban harus cepat untuk mencari bantuan dan anak-anak yang kena grooming harus benar-benar mau ngelapor ke orangtuanya," pungkas Zoya.