Laporan wartawan tribunnews.com, Danang Triatmojo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pimpinan Badan Pengkajian MPR RI Djarot Saiful Hidayat mengatakan Pemilu di Indonesia harus berani kembali menggunakan sistem pemilu tertutup.
Namun ia mengakui Pemilu dengan sistem tertutup sulit diwujudkan pada Pemilu 2024. Salah satu alasannya karena UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sudah tertutup untuk direvisi.
"Kalau 2024 mungkin susah ya, kita harus menyadari bahwa ini agak susah tetapi tergantung kepada DPR Komisi II, apa memungkinkan, karena kan sampai dengan 2024 UU tentang pemilu sudah tertutup untuk direvisi," kata Djarot usai menyambangi kantor KPU RI, Jakarta Pusat, Rabu (21/9/2022).
Sehingga kata dia, Badan Pengkajian MPR RI akan menyiapkan kajian soal sistem pemilu tertutup untuk periode pesta demokrasi berikutnya.
Baca juga: Sambangi KPU, MPR Serahkan Hasil Kajian Visi-Misi Calon Pemimpin Pemilu 2024
"Berarti kita menyiapkan kajian, untuk periode ke depan supaya kita tidak terjerembap terus dengan persoalan-persoalan demokrasi liberal individual seperti ini," jelas dia.
Terkait sistem proporsional terbuka atau tertutup, Djarot menyebut sudah pernah dilakukan pada masa reformasi atau tahun 2009.
"Di reformasi juga dilakukan itu menjadi terbuka sejak 2009, itu menjadi terbuka sebelumnya tertutup. Saya mengalami 1999 itu tertutup, kemudian 2004 itu tertutup," katanya.
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini mengakui memang sistem pemilu tertutup berpotensi rawan jadi ladang korupsi.
Baca juga: Politikus PDIP Jelaskan Mekanisme Usulan Nomor Peserta Pemilu Tak Diubah
Berkenaan dengan itu ia dan Badan Pengkajian MPR RI serta sejumlah pihak sedang mengkaji opsi tersebut sebagai solusi atas evaluasi pemilihan kepala daerah langsung. Salah satunya adalah opsi menerapkan pilkada asimetris.
Pilkada asimetris yang ia maksud ialah di mana tak semua kepala daerah dipilih secara langsung.
Djarot mencontohkan Provinsi DKI Jakarta di dalam Undang-Undang pilkada hanya ada pemilihan di tingkat Provinsi.
Sedangkan pemilihan walikota dan bupati dipilih lewat mekanisme lelang jabatan. Hal ini karena otonomi di tingkat provinsi tidak ada pemilihan langsung walikota dan bupati.
Baca juga: KPU: Tujuan Pemilu Tidak Tercapai Jika Orang Terpilih Justru yang Terjerat Masalah Hukum
“Termasuk juga dalam pilkada, apakah dimungkinkan pilkada asimetris? Sehingga tidak semua dipilih langsung,” terang Djarot.
“Artinya kita perlu mengkaji mana daerah yang betul-betul siap untuk pilkada secara langsung dan mana yang cukup dipilih melalui DPRD,” jelas dia.