TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret (UNS), Dr. Agus Riewanto menanggapi usulan kembali menerapkan sistem proporsional tertutup pada Pemilu tahun 2024.
Sistem tersebut bisa menjawab kelemahan yang ada dalam sistem proporsional terbuka.
Agus Riewanto menyoroti dua kelemahan sistem pemilu terbuka atau sistem berbasis caleg (calon anggota legislatif).
Kelemahan tersebut berdasarkan evaluasi pelaksanaan Pemilu 2009, 2014, dan 2019 yang menerapkan sistem proporsional terbuka dengan penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak.
“Pertama, melemahkan Identifikasi Diri dengan Partai atau Party-ID. Party-ID merupakan perasaan seseorang bahwa partai tertentu adalah identitas politiknya. Party-ID ini merupakan komponen psikologis yang akan memberikan sumbangan bagi stabilitas dukungan terhadap partai dan sistem kepartaian yang bisa memperkuat demokrasi,” ujar Agus saat dihubungi, Rabu (4/1/2023).
Agus Riewanto kemudian mengutip hasil survei nasional yang dilakukan oleh Indikator Politik Indonesia pada Februari 2021.
Baca juga: Respons Ketua KPU Soal Wacana Sistem Proporsional Tertutup: Kita Hanya Pelaksana Saja
Survei menunjukkan bahwa party identity masyarakat Indonesia sangat rendah.
Bahwa 92,3 persen dari 1.200 responden yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia menyatakan tidak ada kedekatan dengan partai politik tertentu (Party ID).
Hal ini menunjukkan sentimen terhadap partai rendah sekali. Kalau sentimen terhadap partai baik, pemilih akan merasa diwakili oleh partai.
Demikian pula hasil survei nasional Litbang Kompas pada Januari 2022 menunjukkan lemahnya party-ID di Indonesia.
Dari 1.200 responden yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia menemukan 67,3 persen pemilih tidak ada ikatan Party-ID, sedangkan pemilih yang menyatakan ada ikatan Party-ID hanya 23,8 persen.
Selain melemahkan Party-ID, persoalan kedua yang disebabkan oleh sistem proporsional terbuka adalah melahirkan fenomena antipartai politik atau deparpolisasi yang berdampak buruk bagi bangunan demokrasi di Indonesia.
“Terjadi perubahan pilihan pemilih dari satu partai politik ke partai politik lain, dari satu Pemilu ke Pemilu selanjutnya (Electoral volatility). Sehingga Pemilu menghasilkan perubahan dramatis yang ditandai naik-turunnya dukungan pemilih terhadap partai layaknya roller coaster,” ujar Agus.
“Dampak buruknya, Pemilu hanya bergantung pada figur atau kandidat atau calegnya, sehingga pemilih lebih mempertimbangkan pada caleg yang popular dan bermodal uang bukan pada kesamaan Party-ID,” tutup Agus.
Baca juga: Hasto Jelaskan Alasan PDIP Dorong Penerapan Sistem Proporsional Tertutup pada Pemilu 2024