TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Munculnya nama sosok Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang juga merupakan putra Presiden Joko Widodo dalam perdebatan terkait gugatan syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden memunculkan berbagai tanggapan pro dan kontra.
Beberapa waktu lalu nama Wali Kota Solo Gibran sempat muncul dan disebut-sebut dalam sidang uji materi terhadap Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK).
Bagi kalangan yang pro menganggap bahwa dengan usia tersebut maka capres dan cawapres sedang berada dalam kondisi yang produktif sehingga dapat berkontribusi maksimal dalam pembangunan bangsa.
Seperti yang disampaikan Ketum DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Abdul Musawir Yahya yang mendukung adanya gugatan tersebut karena bisa memberi kesempatan anak muda untuk berkiprah menjadi pemimpin.
Sementara itu, pengamat politik ARSC Ikhwanul Maarif Harahap mengungkapkan sesungguhnya terdapat problem moralitas politik yang fundamental terkait perubahan batas syarat usia pencalon presiden dan wakil presiden tersebut.
"Terdapat problem moral politik, konflik kepentingan dan membawa politik nasional mundur kembali ke dalam iklim politik yang tertutup di lingkup dinasti politik dan nepotisme. Kita tak ingin iklim politik Orde Baru terulang. Kalau tingkat politik lokal mungkin dinamika dinasti politik ini masih bisa terkelola, tapi di tingkat nasional akan berdampak pada pembusukan politik yang lebih luas dan dalam," ujar Ikhwanul kepada wartawan seperti dikutip pada Kamis (14/9/2023).
Menurut pakar politik alumni Universitas Brawijaya ini keinginan kelompok tertentu yang ingin mendorong Gibran menjadi cawapres justru kontraproduktif dan membahayakan kredibilitas Presiden Joko Widodo itu sendiri.
"Di tengah berbagai kesuksesan dalam memimpin dan membangun negara ini, hemat saya, munculnya dukungan terhadap Mas Gibran sebagai cawapres melalui gugatan MK, apalagi kita tahu bahwa Ketua MK sendiri memiliki hubungan besan, itu seperti hendak menjatuhkan kredibilitas Pak Jokowi, atau justru membuka motif kepentingan politik yang sebenarnya," tutur Ikhwanul.
Ikhwanul pun menyarankan kepada para kelompok yang berada di sekeliling Gibran untuk tidak mendorong dan memanas-manasi ambisi Gibran mencalonkan diri sebagai cawapres melalui gugatan MK.
"Sebaiknya Mas Gibran tetap berproses dan memperkuat pengalamannya dulu dalam mengelola pemerintahan, menjadi walikota yang baik dan kemudian bisa menjadi gubernur yang berprestasi, sembari menanti usia yang sesuai dengan undang-undang. Sekaligus untuk kepentingan nasional, menjaga keseimbangan politik antara istana dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada, khususnya PDIP," tutur Ikhwanul.
Diketahui ada beberapa pihak yang menggugat UU yang mengatur batas usia Capres-Cawapres ini.
Dalam Perkara 55/PUU-XXI/2023 pihak yang menggugat yakni Wali Kota Bukittinggi Erman Safar, Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa, Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak, Waub Sidoarjo Ahmad Muhdlor, dan Wakil Bupati Sidoarjo Muhammad Albarraa.
Dalam Perkara 51/PUU-XXI/2023 pihak yang menggugat yakni Ketua Umum Partai Garuda (Ketum) Ahmad Ridha Sabana, dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Garuda Yohanna Murtika.
Baca juga: Ketua Komisi II Harap Batas Usia Capres dan Cawapres Dibahas di DPR
Dalam Perkara 29/PUU-XXI/2023 pihak yang menggugat adalah Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Ketiga perkara ini menggugat Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang berbunyi:
Persyaratan menjadi calon Presiden dan calon Wakil Presiden adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.