TRIBUNNEWS.com - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan mahasiswa asal Kota Solo, Jawa Tengah, Almas Tsaqibbirru, menimbulkan polemik.
Salah satunya, Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, yang menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedang membangun dinasti politik dengan memanfaatkan kekuasaannya.
Seperti diketahui, MK pada Senin (16/10/2023), mengabulkan gugatan perkara tersebut.
Hal ini berarti siapapun yang belum berusia 40 tahun, bisa mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres, selama memiliki pengalaman atau tengah menjabat kepala daerah, atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
Padahal, MK sebelumnya telah menolak gugatan serupa dengan nomor 29-51-55/PUU-XII/2023 yang meminta agar batas usia capres dan cawapres diubah dari 40 tahun menjadi 35 tahun.
Baca juga: Dugaan Anwar Usman, Jokowi, Gibran, Kaesang Jadikan MK Sebagai Mahkamah Keluarga Tak Terbukti
Ketiga gugatan itu ditolak karena dalam norma Pasal 168 UU huruf q UU 7/2017, MK menilai ihwal usia capres dan cawapres adalah wewenang pembentukan UU untuk mengubahnya.
Putusan itu lantas dianggap memuluskan langkah Wali Kota Solo yang juga anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, maju Pilpres 2024.
Seperti diketahui, nama Gibran santer masuk bursa cawapres untuk Prabowo Subianto.
Sebagai informasi, Ketua MK, Anwar Usman, adalah suami Idayati, adik Jokowi.
Terkait putusan MK, bagaimana sikap Jokowi, Gibran, Kaesang Pangarep, serta Ganjar Pranowo?
Jokowi Tak Ingin Beri Pendapat
Presiden Jokowi enggan bicara mengenai putusan MK yang mengabulkan gugatan Almas soal batas usia capres-cawapres tak harus 40 tahun selama menjabat atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah, atau jabatan yang diemban lewat pemilihan umum (Pemilu).
Ia hanya mempersilakan publik untuk menanyakan langsung kepada MK terkait putusan itu.
Jokowi mengatakan ia tak akan memberikan pendapat apa-apa soal putusan MK itu karena tidak ingin disalahpahami.
"Mengenai putusan MK, silakan ditanyakan ke Mahkamah Konstitusi, jangan saya yang berkomentar. Silakan juga pakar hukum yang menilainya."