TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Jenderal Partai Gelora Mahfudz Siddiq meyakini apabila Prabowo Subianto terpilih menjadi Presiden 2024 akan mendapatkan mandat khusus dari Joko Widodo.
Hal itu diketahuinya dari enam kali pertemuan dengan kepala negara secara personal dan tidak dikonsumsi media.
“Satu hal yang saya tangkap dan menjadi benang merah dari semua pembicaraan itu saya melihat Presiden Jokowi punya perhatian dan kepentingan sama besar tentang bagaimana membawa Indonesia ini menjadi satu kekuatan baru di dunia,” ucapnya di Kantor Tribun Network, Palmerah, Jakarta, Selasa (31/10/2023).
Baca juga: PDIP Sedih Ditinggalkan Keluarga Joko Widodo, Ini Respons Prabowo hingga Jokowi
Mahfudz menuturkan Presiden Jokowi selalu mengartikulasikan posisi Indonesia di G20 yang sangat kuat.
“Nah untuk memastikan ini satu yang beliau selalu ulang-ulang dalam pesan politiknya ini kita jaga persatuan nasional mari kita jaga situasi politik,” ucapnya.
“Dari situ saya membaca bahwa pasca pemilu jika Allah izinkan Pak Prabowo menang saya yakin pesan pertama yang disampaikan Pak Jokowi ke Pak Prabowo lanjutkan rekonsiliasi,” sambung Mahfudz.
Lanjutan wawancara eksklusif Direktur Pemberitaan Tribun Network Febby Mahendra Puta dengan Sekjen Partai Gelora Mahfuz Sidik:
Apakah isu politik dinasti itu akan merugikan pasangan Prabowo-Gibran. Menurut Partai Gelora bagaimana?
Ketika Pak Prabowo sudah memutuskan cawapres Mas Gibran. Saya waktu itu melakukan testing di lapangan. Misalnya di Cirebon saya buat 400 spanduk Gibran pemimpin muda.
Saya minta dalam dua tiga hari dipantau apa reaksi masyarakat. Ternyata yang saya temukan laporannya sebagian besar masyarakat menyambut positif.
Jadi ada situasi pro kontra di kalangan elite politik. Di masyarakat sampai hari ini mereka tidak terlalu paham dan tidak terlalu nyambung isu politik. Termasuk mereka tidak nyambung terkait mekanisme pengambilan keputusan.
Tetapi mereka punya antusisme terhadap kemunculan sosok anak muda, calon pemimpin baru di negeri ini. Itu luar biasa responsnya.
Kita harus coba melihat realitas publik dan membedakannya apa yang menjadi dinamika di tingkat elite.
Baca juga: Saat Jokowi Diam Seribu Bahasa Ketika Ditanya Soal Kekecewaan PDIP
Mengapa tiba-tiba Pak Presiden menyetujui Prabowo-Gibran karena sebelumnya beliau mengatakan Gibran belum cukup usia?
Saya mau kembali lagi apa yang kami diskusikan lagi dengan Pak Jokowi tentang rekonsiliasi nasional dan konsolidasi elite.
Dalam pertemuan pembicaraan kami dengan Pak Jokowi setelah lebaran 2023 kalau tidak salah sekitar bulan Mei. Saat itu ada satu ide yang kami sampaikan dan direspon positif. Bahwa untuk 2024 untuk melanjutkan rekonsiliasi dan konsolidasi elite kami mengusulkan koalisi besar pemerintah ini dilanjutkan.
Di situ masih ada NasDem, masih ada PKB itu. Saat itu karena koalisi besar ini banyak partai.
Kami mengusulkan koalisi besar ini backbone 2 partai itu namanya PDIP dan Gerindra. Nah kan waktu itu Pak Jokowi juga mulai sering mengapa mengendorse sosok Ganjar Pranowo, kalau kita bicara Gerindra tidak ada orang lain sekarang ini kan kecuali Pak Prabowo.
Sehingga memang dalam pikiran kami ketika PDIP dan Gerindra ini sebagai backbone maka dua partai ini dan Pak Jokowi nantinya yang akan membuat formula siapa figurnya. Apakah tetap Pak Ganjar, Pak Prabowo atau ada opsi yang lain.
Itu ide awalnya begitu. Tapi ada situasi lain tiba-tiba NasDem keluar. Saat ini ada dinamika elite yang tidak pernah kita kalkulasi sebelumnya tapi itu semacam mengubah lapangan permainan dan mengubah konfigurasi dalam permaianan.
Sehingga kemudian dalam proses berikutnya ketika Pak Prabowo menjadi figur yang oleh Pak Jokowi dianggap “lebih bisa mewakili legacy” maka harus didampingi siapa. Kami waktu itu ada dua opsi Prabowo-Ganjar atau Prabowo-Puan.
Itu kami munculkan di dalam diskusi.
Baca juga: Gibran Dipersilakan Pindah ke Golkar, Anak Jokowi Klaim Masih Jadi Kader PDIP
Responsnya positif dengan adanya usulan itu?
Pak Jokowi mendorong Pak Prabowo untuk membuka komunikasi itu dengan PDIP. Cuma kan saya tidak tahu persis ya lebih dari ungkapan yang muncul.
Kelihafannya kondisi politik di antara petinggi petinggi ini diantara mereka menemui jalan buntu. Maka mulai dibuat alternatif jalan lain formasi lain dan ketika formasi lain akhirnya akan muncul nama lain.
Ada nama Muhaimin dari PKB, Golkar memunculkan Pak Airlangga sebagai partai besar ya pastilah itu. Ada Erick Thohir di dorong betul oleh PAN. Tapi kan ada kebuntuan seperti yang ceritakan karena saling mengisi satu sama lain.
Pak Jokowi menceritakan hal itu juga bagaimana sulitnya saling mengunci satu sama lain dan dalam situasi seperti itulah ketika memang ide awal backbone dua pimpinan bisa berjalan lalu skenario kedua tidak bisa jalan karena saling ngunci disitulah muncul nama Gibran.
Gibran ini tidak muncul di awal, dia muncul di akhir sekali.
Sekarang ini publik selain membahas MK juga mempertanyakan netralitas Pak Jokowi? Menurut Anda di mana Presiden harus menempatkan dirinya?
Saya kira kita bicara realitas politik dulu ya. Pemilu Pilpres dan Pileg ini kan tidak terjadi di dalam ruang kosong kekuasaan.
Ketika kita Pemilu dan Pilkada kan ada presiden yang berkuasa dan itu terjadi dalam setiap pemilu. Kalaupun seorang presiden atas dasar etika politik atas dasar moralitas politik komitmen demokrasi berupaya untuk menegakkan netralitasnya tidak memihak dengan calon-calon tertentu misalnya.
Dalam praktiknya yakinkan kita netralitas 100 persen. Dan ini situssi yang bisa terjadi di pemilu sebelumnya karena pemilu tidak terjadi di situasi hampa kekuasan sebagaimana pilkada.
Saya masih terus mengapresiasi langkah-langkah yang dilakukan Pak Jokowi. Di tengah situasi politik seperti ini beliau mengajak makan ketiga capres. Menurut saya ini luar biasa.
Bukan kah itu hanya untuk gimmick-gimmick?
Kalau orang tidak ada ide yang melatarbelakangi langkah itu saya enggak yakin orang akan melakukan atau mengambil keputusan itu.
Tapi karena beliau ini di backmind-nya memang ada ide tentang rekonsiliasi ada ide tentang menjaga pemilu ini harus menjadi jembatan yang baik bagi kita dan selalu mengingatkan kan di depan ini dunia sedang tidak baik-baik saja ya kan.
Masa kita mau ribut dengan situasi dunia sedang tidak baik-baik saja atas dasar pikiran pikiran itu belum mengundang tiga capres itu makan siang. Bagi saya tidak jadi memang ada pesan yang disampaikan kepada pablik.
Dalam politik kita ini adagiumnya take and give. Apakah di dalam berkoalisi dengan Pak Prabowo sudah ada obrolannya, Gelora akan dapat apa?
Kalau bagi-bagi tugas sudah apa porsi pekerjaan Gelora walaupun nanti di tim Pemenangan yang dipimpin Pak Rosan itu nanti akan didetaikan.
Tapi kalu bicara apa power sharingnya ya menang dulu. Dari pada sudah ribut power sharing tetapi nggak menang malah bikin sakit hati. Saya kira kita fokus pembagian kerja.
Sebenarnya Partai Gelora itu menginginkan portofolio apa?
Partai Gelora ini partai baru dan di KPU sebagai pengusung pun juga tidak termaktub. Kita ini cuma partai pendukung jadi hajat politik terbesar dan utama Partai Gelora itu lolos parlementery threshold. Itu dulu poinnya.
Buat apa Pak Prabowo menang kita punya menteri tetapi tidak punya anggota dewan di DPR. Untuk apa capres kita sukses tapi partai sendiri nggak sukses.
Kalau Partai Gelora lolos parlementary threshold bisa menjadi pembagian di legislatif itu kan bobot politik jadi lebih kuat. Pak Prabowo kan juga kalau mau kasih power sharing di eksekutif akan berpikir kursi DPR yang dimiliki.
Sebagai politisi senior menurut Bapak ujung dari semua ini apa nantinya?
Dalam enam kali pertemuan kami dengan Pak Jokowi selalu tertutup karena bukan untuk konsumsi media, personal tidak terbuka.
Satu hal yang saya tangkap dan menjadi benang merah dari semua pembicaraan itu saya melihat Presiden Jokowi punya perhatian dan kepentingan sama besar tentang bagaimana membawa Indonesia ini menjadi satu kekuatan baru di dunia.
Dan posisi kita di G20 ini kita betul-betul secara kuat diartikulasikan oleh Pak Jokowi. Nah untuk memastikan ini satu yang beliau selalu ulang-ulang dalam pesan politiknya ini kita jaga persatuan nasional mari kita jaga situasi politik.
Dari situ saya membaca bahwa pasca pemilu jika Allah izinkan Pak Prabowo menang saya yakin pesan pertama yang disampaikan Pak Jokowi ke Pak Prabowo lanjutkan rekonsiliasi. Jadi saya yakin ada yang curhat sakit hati pada saatnya nanti akan dirangkul kembali dalam meja makan besar atas nama kepentingan nasional. (Tribun Network/Reynas Abdila)