TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik, Bawono Kumoro menyoroti isu soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang batas usia capres-cawapres yang belakangan dijadikan polemik dinilai hanya sebagai alat untuk mendegradasi pasangan Prabowo-Gibran.
Menurut Bawono, isu tersebut sengaja dimainkan untuk mempengaruhi publik demi mendegradasi paslon Prabowo-Gibran.
"Isu putusan Mahkamah Konstitusi mengenai batas usia capres dan cawapres saat ini tampak menjadi semacam alat untuk mendegradasi pasangan Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka," kata Bawono kepada wartawan, Minggu (5/11/2023).
Bawono menuturkan, jika upaya menggulirkan isu tersebut, tak hanya terkait persoalan hukum namun juga berpotensi menarik ke tanah politik.
"Sangat mungkin ada pihak mencoba menarik ini ke ranah politik untuk kepentingan politik elektoral jangka pendek sehingga ini berpotensi bisa mendelegitimasi pasangan Prabowo-Gibran di pemilihan presiden 2024," tuturnya.
Bawono tak memungkiri jika isu ini terus liar berkembang di masyarakat, maka akan sangat mengganggu stabilitas politik, mengingat selama ini MK merupakan lembaga yang menjamin hak konstitusi setiap rakyat yang putusannya bersifat final dan mengikat.
"Tentu sangat berisiko bagi keberlangsungan stabilitas politik dan keamaan telah berada dalam kondisi baik dan kondusif saat ini," ujarnya.
Seperti diketahui, putusan Mahkamah Kontitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 saat ini menjadi kontroversi.
Adapun putusan nomor 90 dikeluarkan merespons permohonan gugatan terhadap Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur batas usia minimal capres dan cawapres.
Dalam putusan itu, MK menetapkan syarat pendaftaran capres-cawapres harus berusia minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten dan kota.
Sejumlah pihak melaporkan dugaan pelanggaran etik dalam putusan tersebut. MKMK pun dibentuk. Ketuanya, eks Ketua MK Jimly Asshiddiqie.
Saat ini, perkara dugaan pelanggaran etik hakim MK itu tengah diselidiki.
Pembentukan MKMK
Sebagai informasi, Mahkamah Konstitusi (MK) resmi melantik tiga orang untuk menjadi anggota Majelis Kehormatan MK (MKMK) Ad Hoc.
Diantaranya yaitu Jimly Assiddiqie, Bintan Saragih, dan Wahiduddin Adams.
MKMK Ad Hoc dibentuk untuk menindaklanjuti sejumlah laporan dugaan pelanggaran etik ke MK imbas putusan 90/PUU-XXI/2023.
Putusan tersebut mengatur soal syarat batas minimal usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) 40 tahun dan berpengalaman sebagai kepala daerah.
Namun, putusan tersebut kontroversial. Bahkan, dinilai tidak sah oleh sejumlah pakar, karena adanya dugaan konflik kepentingan antara Ketua MK Anwar Usman dengan keponakannya, yakni putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabumingraka (36).
Baca juga: KPU Bakal Konsultasi ke Pihak Terkait Jika MKMK Batalkan Putusan MK Soal Batas Usia Capres-Cawapres
Terkait hal itu, pemohon perkara 90/PUU-XXI/2023, Almas Tsaqqibbiru, merupakan penggemar dari Gibran, yang juga menjabat Wali Kota Solo.
Adapun putusan tersebut diduga memuluskan langkah Gibran maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024 mendatang.
Hingga saat ini MK telah menerima sebanyak 20 laporan terkait dugaan pelanggaran etik dan perilaku hakim. MKMK masih terus memeriksa para pelapor.
Sementara itu, hingga saat ini MKMK telah memeriksa semua hakim terlapor.