News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilpres 2024

Disinggung Soal MKMK Permanen, Jimly Sebut Tergantung Ketua MK yang Baru

Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Theresia Felisiani
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie merespons terkait pembentukan MKMK secara permanen.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie merespons terkait pembentukan MKMK secara permanen.

Jimly mengatakan, ada aturan yang sejatinya memang telah mengatur pembentukan MKMK secara permanen, meski hingga saat ini belum dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)

Adapun dalam beberapa waktu terakhir, MKMK dibentuk secara ad hoc, jika ada laporan dugaan pelanggaran etik dan pedoman perilaku hakim yang harus ditangani. Salah satunya, seperti Majelis Kehormatan MK yang dipimpin Jimly saat ini.

Hal tersebut sesuai Pasal 4 Ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 1 Tahun 2023.

"Keanggotaan Majelis Kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat tetap untuk masa jabatan 3 (tiga) tahun atau bersifat ad hoc yang ditentukan dalam RPH," demikian bunyi aturan tersebut.

Baca juga: Anwar Usman Soal Dicopot dari Ketua MK: Jabatan Milik Allah

Jimly kemudian mengatakan, MKMK ad hoc diberi tugas selama 30 hari untuk menangani laporan dugaan etik terhadap hakim. 

Namun, ia menyampaikan, saat ini tugasnya di MKMK telah selesai, setelah memutus sejumlah laporan dugaan pelanggaran etik berkenaan dengan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Jimly menyampaikan, soal pembentukan MKMK permanen itu merupakan kewenangan MK atau dalam hal ini Para Hakim Konstitusi melalui rapat permusyarawatan hakim (RPH). 

Terlebih, setelah adanya Putusan MKMK Nomor 2/MKMK/L/11/2023, yang mencopot jabatan Anwar Usman sebagai Ketua MK sekaligus memerintahkan penyelenggaraan pemilihan Ketua baru.

"Kami diberi tugas 30 hari alhamdulillah 2 minggu sudah kelar. Jadi sudah pensiun kita dari MKMK ini. Selanjutnya terserah kepada MK yang dalam dua hari ke depan kita minta segera mengadakan pemilihan pimpinan," kata Jimly, dalam konferensi pers di gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (7/11/2023) malam.

"Kita (MKMK ad hoc) tidak ikut campur siapa jadi ketua siapa jadi wakil. Mereka nanti bahas mengenai kebutuhan untuk membentuk MKMK permanen sesuai dengan ketentuan UU. Tapi ya terserah mereka siapa," sambungnya.

"Mungkin enggak usah kami berdua lagi (Jimly dan Bintan Saragih). Pak Wahid masih bisa lah barangkali. cari yang lain yang kira kira bisa menjalankan tugas untuk permanen."

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie merespons terkait pembentukan MKMK secara permanen. (Tribunnews.com/Ibriza)

Lebih lanjut, ia menegaskan, soal pembentukan MKMK permanen itu tergantung keputusan Ketua MK baru nantinya.

"Jadi tanya sama Ketua yang baru. Dua hari lagi. Mau dibentuk permanen, atau siapa saja."

Sebagai informasi, MK membentuk MKMK yang dipimpin Jimly Asshidiqie sekaligus merangkap anggota, bersama Bintan Saragih dan Wahiduddin Adams.

MKMK ad hoc itu dibentuk untuk menangani sebanyak 21 laporan dugaan pelanggaran etik dan pedoman perilaku hakim berkenaan dengan Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.Namun, putusan tersebut kontroversial. Bahkan, dinilai tidak sah oleh sejumlah pakar, karena adanya dugaan konflik kepentingan antara Ketua MK Anwar Usman dengan keponakannya, yakni putra Presiden Jokowi, Gibran Rakabumingraka (36).

Terkait hal itu, pemohon perkara 90/PUU-XXI/2023, Almas Tsaqqibbiru, merupakan penggemar dari Gibran, yang juga menjabat Wali Kota Solo.

Adapun putusan tersebut diduga memuluskan langkah Gibran maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024 mendatang.

MKMK telah memeriksa semua pelapor dan para hakim terlapor, hingga putusan terkait dugaan pelanggaran etik itu siap dibacakan, pada Selasa (7/11/2023) sore pukul 16.00 WIB, di Gedung MK, Jakarta Pusat.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terkait batas usia capres-cawapres dalam Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum lewat sidang pleno putusan yang digelar di Gedung MK, Jakarta pada Senin (16/10/2023).

Putusan ini terkait gugatan dari mahasiswa yang bernama Almas Tsaqibbirru Re A dengan kuasa hukum Arif Sahudi, Utomo Kurniawan, dkk dengan nomor gugatan 90/PUU-XXI/2023 dibacakan oleh Manahan Sitompul selaku Hakim Anggota.

Pada gugatan ini, pemohon ingin MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai Kepala Daerah baik di Tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar Usman, di dalam persidangan, Senin (16/10/2023).

Sehingga Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu selengkapnya berbunyi:

"Berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah."

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini