TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini (8/11/2023) menyidangkan lagi gugatan terkait batas usia minimum capres-cawapres pada Rabu (8/11/2023), bertepatan dengan hari terakhir pengusulan bakal capres-cawapres pengganti ke KPU RI.
Hari ini adalah sidang pendahuluan pengujian Pasal 168 huruf q UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) sebagaimana telah dimaknai oleh MK dalam putusan nomor 90/2023 terhadap UUD 1945.
Perkara ini mengajukan syarat aturan batas minimal usia Capres-Cawapres yang sebelumnya diputus MK melalui Putusan 90/2023.
Ketua Majelis Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta Pemohon memperbaiki permohonannya.
"Perbaikan permohonan sampai hari Selasa, tanggal 21 November 2023, jam 09.00 WIB pagi," kata Hakim Suhartoyo, dalam sidang pendahuluan, di gedung MKRI, Jakarta Pusat, Rabu (8/11/2023).
Materi Gugatan
Materi gugatan adalah Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang sebelumnya telah diubah secara kontroversial lewat Putusan MK 90/PUU-XXI /2023, menjadi "berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah.".
Gugatan ini diajukan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama (NU) Indonesia, Brahma Aryana (23) yang diregistrasi dengan nomor 141/PUU-XXI/2023.
Ia berharap, MK bisa memutus perkara itu dalam waktu cepat karena perkara itu dianggap sudah sangat jelas lantaran sudah diperiksa MK melalui gugatan-gugatan sebelumnya.
Ia juga meminta agar Ketua MK Anwar Usman, yang merupakan paman Gibran tidak turut mengadili perkara itu.
Brahma mempersoalkan, dalam penyusunan putusan itu, 5 hakim konstitusi yang setuju mengubah syarat usia minimum capres-cawapres pun tak bulat pandangan.
Dari 5 hakim itu, hanya 3 hakim (Anwar Usman, Manahan Sitompul, Guntur Hamzah) yang sepakat bahwa anggota legislatif atau kepala daerah tingkat apa pun, termasuk gubernur, berhak maju sebagai capres-cawapres.
Namun, 2 hakim lainnya (Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh) sepakat hanya kepala daerah setingkat gubernur yang berhak.
Menurut dia, ini dapat menimbulkan persoalan ketidakpastian hukum karena adanya perbedaan pemaknaan.
Sebab, jika dibaca secara utuh, hanya jabatan gubernurlah yang bulat disepakati 5 hakim tersebut untuk bisa maju sebagai capres-cawapres.
"Yang setuju pada tingkat di bawah gubernur hanya 3 hakim konstitusi, sementara yang setuju pada tingkat gubernur 5 hakim konstitusi," kata Brahma.
Ia menegaskan, frasa baru pada Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu seharusnya inkonstitusional karena hanya berdasarkan 3 suara hakim dari 5 suara hakim yang dibutuhkan.
Dalam petitumnya, Brahma meminta bahwa hanya gubernur/kepala daerah tingkat provinsi yang bisa menjadi capres-cawapres walau belum berusia 40 tahun.
Sosok Hakim Ketua Suhartoyo
Suhartoyo resmi dipilih sebagai Hakim Konstitusi menggantikan Ahmad Fadlil Sumadi dan mengucapkan sumpah di hadapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 17 Januari 2015.
Suhartoyo lahir di Sleman, 15 November 1959 dari keluarga sederhana.
Suhartoyo sempat memiliki minat di bidang ilmu sosial politik dan berharap dapat berkarier di Kementerian Luar Negeri.
Namun, cita-citanya gagal ia capai dan pada akhirnya ia mendaftar sebagai mahasiswa ilmu hukum.
Seiring waktu, Suhartoyo semakin tertarik mempelajari ilmu hukum untuk menjadi seorang jaksa, bukan menjadi seorang hakim.
Namun, pada saat itu, temannya mengajak dirinya untuk mendaftar sebagai hakim dan ia pun mencobanya.
Ternyata, Suhartoyo lolos menjadi hakim, sedangkan teman-teman yang mengajaknya justru tidak lolos. Secara resmi, Suhartoyo pun menjadi hakim.
Pada tahun 1986, ia bertugas sebagai calon hakim di Pengadilan Negeri Bandar Lampung untuk pertama kalinya.
Ia pun diberi kepercayaan untuk menjadi hakim Pengadilan Negeri di beberapa kota hingga tahun 2011, antara lain di kota-kota berikut:
- Hakim PN Curup (1989)
- Hakim PN Metro (1995)
- Hakim PN Bekasi (2006)
- Wakil Ketua PN Pontianak (2009)
- Ketua PN Pontianak (2010)
- Wakil Ketua PN Jakarta Timur (2011)
- Ketua PN Jakarta Selatan (2011)
Kuasa hukum pemohon
Menanggapi permintaan untuk memperbaiki permohonan, Kuasa Hukum Pemohon, Victor Santoso Tandiasa menanyakan kepada majelis hakim soal niatnya mempercepat pengajuan perbaikan surat permohonan.
Percepatan itu, Victor berharap, dapat mempercepat juga pembacaan putusan permohonannya oleh majelis hakim agar terciptanya kepastian hukum Pemilu 2024, setelah adanya putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) mengenai terbuktinya pelanggaran etik terhadap Anwar Usman yang memutus Perkara 90/2023.
"Kalau misalnya kami melakukan perbaikan dalam satu hari, apakah ini dapat dilakukan secara cepat Yang Mulia?" tanya Victor kepada Suhartoyo.
"Karena tujuan kami ingin mendapat kepastian hukum yang sekarang lagi jadi polemik, di mana legitimasi Pemilu ini akan ditanyakan terkait dengan adanya sanksi etik (terhadap Anwar Usman)," jelasnya.
Selanjutnya, Suhartoyo mempersilahkan Victor mempercepat penyerahan dengan tujuannya itu.
Namun, ia menekankan, Para Hakim Konstitusi tak akan terdikte dengan adanya pengajuan percepatan itu.
"Ya silakan nanti dijalankan saja secara normal, artinya kalau memang bisa lebih cepat mau diserahkan naskah perbaikannya ya silakan," kata Suhartoyo.
"Tapi kami tidak akan terdikte oleh itu. Artinya ada persoalan-persoalan kepaniteraan yang secara anu itu, perkara yang lain kan sudah seperti ban berjalan kan tidak kemudian bisa. Tapi silakan saja dan apa yang anda inginkan, supaya juga dipertimbangkan tentang percepatan itu," sambungnya.