"Posisi saya selain sebagai mahasiswa, juga sebagai pemantau pemilu di KIPP. Saya kira klir ya mengenai independensi sebagai pemantau," ujarnya.
"Sebagai pegiat pemilu, saya sangat menjaga independensi KIPP," sambung Bram.
Lebih lanjut, Bram mengungkapkan ada tiga alasan utama sehingga menggugat putusan 90 tersebut.
Pertama, dia menyebut ada frasa dalam putusan tersebut yang menimbulkan ketidakpastian hukum yaitu soal syarat untuk dapat mengajukan menjadi capres-cawapres adalah kepala daerah yang dipilih lewat pemilihan umum.
"Dalam frasa' yang dipilih melalui pemilihan umum' tidak menyebutkan secara spesifik pada jabatan pada tingkat apa yang dimaksud tersebut," kata Bram.
Kedua, tidak tercapainya kuorum terkait komposisi hakim yang mengabulkan gugatan 90 tersebut.
"Komposisi hakim yang mengabulkan. Ada sembilan hakim MK yang menyidangkan perkara tersebut, namun hanya terdapat tiga hakim MK yang menyetujui jabatan di bawah Gubernur, sehingga amar putusan a quo tidak mencapai kuorum persetujuan yang ideal," ujarnya.
Terakhir, Brahma menyebut adanya conflict of interest atau konflik kepentingan dalam putusan 90 tersebut.
Hal itu, sambungnya, terbukti lewat putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Nomor 2 Tahun 2023 yang membuktikan mantan Ketua MK, Anwar Usman melakukan pelanggaran berat.
"Artinya, dalam putusan Nomor 90 tersebut, sudah terbukti bahwa terdapat intervensi kekuasaan dalam prosesnya," tuturnya.
Baca juga: Bobby Nasution Dukung Prabowo-Gibran, PDIP Ambil Sikap hingga Ungkit Pemberian Karpet Merah
Bram pun mengatakan ketiga alasannya itu sekaligus menunjukkan legitimasi Pemilu 2024 menjadi lemah karena turut memengaruhi terbitnya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 23 Tahun 2023 yang berlandaskan putusan MK yang bermasalah.
"Selain itu, legitimasi salah satu calon pun lemah, karena berangkat dari putusan yang penuh problematika dan pelanggaran etik (terhadap sembilan hakim MK -red)," kata Bram.
Kemudian, Bram menjelaskan bahwa sebenarnya Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sudah tidak perlu untuk digugat lagi.
Namun, lantaran adanya putusan 90 MK itu, justru menjadi aturan yang bermasalah.
"Saya kira Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengenari syarat usia 40 tahun adalah sebuah proses panjang dan punya dasar filosofis yang kuat," katanya.
Berangkat dari hal itulah, Bram kemudian mengajukan gugatan baru terkait putusan 90 MK tersebut.
Dia lalu mengambil langkah awal dengan berkonsultasi dengan kuasa hukumnya saat ini, Viktor Santoso Tandiasa.
"Kami bertemu dalam pelatihan PHPU tanggal 16 Oktober 2023 yang diadakan oleh MK. Di sana kami berdiskusi, dan kemudian sepakat untuk maju bersama."
"Saya sebagai pemohon dan Bang Viktor sebagai kuasa hukum saya," katanya.
Sementara terkait gugatan yang telah disidangkan pada Rabu (8/11/2023) kemarin, Bram meminta agar MK segera memutusnya dengan cepat lantaran menurutnya bersifat mendesak.
"Saat penutupan sidang tadi siang (Rabu kemarin), saya juga minta ke majelis hakim untuk tidak mengiktsertakan Anwar Usman (mantan Ketua MK) dalam pemeriksaan berdasarkan putusan MKMK 2/2023)."
"Dan meminta MK juga untuk memeriksa dan memutus cepat perkara ini sebab urgensi sudah ada, tinggal diperiksa dan diputus segera," kata dia.