"(Hoaks) bertujuan untuk menurunkan kredilibitas dan integritas," kata Titi, dalam rapat kordinasi bertajuk 'Menjaga Stabilitas Politik Hukum dan Keamanan pada Tahapan Pemilu 2024', di Hotel Orchardz, Jakarta Pusat, pada Selasa (21/11/2023).
Kedua, kata Titi, potensi penyebaran mis-informasi atau informasi yang keliru yang tidak dimaksudkan untuk menyesatkan.
"Perilaku non-autentik yang terkoordinasi (CIB) yang mengunakan akun palsu atau anonim yang terkoordinasi untuk menyesatkan pengguna platform. Seringkali melalui konten atau clickbait atau kumpulan buzzers," jelasnya.
Selanjutnya, potensi terjadinya kampanye jahat atau black campaign terkoordinasi yang bertujuan untuk merusak reputasi lawan atau opsisi. Diikuti, potensi penggunaan bot atau sistem yang mensimulasikan manusia untuk mengarahkan topik yang sedang trend.
Baca juga: Perludem Soroti Ribuan Aparat Desa Dukung Gibran, Sebut Benih Pelanggaran Kampanye
Lebih lanjut, Titi mengatakan, potensi lainnya, yakni adanya influencers maupun buzzers uang yang mendorong topik atau isu tertentu agar menjadi populer.
Kemudian, potensi adanya aliran dana kampanye tak transparan, promosi yang mendorong politik identitas, penggunaan akun palsu, dan kekerasan gender berbasis online (KGBO) khususnya terhadap caleg perempuan.
Sekilas tentang Perludem
Dikutip dari situs resmi, Perludem adalah organisasi nirlaba mandiri yang menjalankan riset, advokasi, pemantauan, pendidikan, dan pelatihan di bidang kepemiluan dan demokrasi untuk pembuat kebijakan, penyelenggara, peserta, dan pemilih, yang sumber dananya berasal dari penggalangan serta bantuan lain yang tidak mengikat.
Lingkup kegiatan Perludem sepanjang perjalan organisasi beragam dengan Advokasi sebagai core utamanya.
Advokasi yang dilaksanakan Perludem dilakukan dengan pendekatan evidence-based, sehingga substansi advokasinya memiliki bargain akademik yang kuat. Namun secara umum, kegiatan Perludem yaitu: pengkajian, pelatihan, dan pemantauan.
Peta Kerawanan Pemilu 2024, Bawaslu Ungkap Kampanye Ujaran Kebencian Dominasi Medsos
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI mengungkap kampanye bermuatan ujaran kebencian menjadi kerawanan paling banyak yang terjadi di media sosial pada tingkat provinsi.
Jumlahnya mencapai 50 persen.
Disusul kampanye bermuatan hoaks sebesar 30 persen, dan kampanye bermuatan SARA 20 persen.
Hal ini disampaikan Anggota Bawaslu RI Lolly Suhenty saat launching 'Pemetaan Kerawanan Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024: Isu Strategis Kampanye di Medsos' seperti disiarkan langsung Youtube Bawaslu RI, Selasa (31/10/2023).