News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilpres 2024

Penolakan Terhadap Praktik Politik Dinasti Masih Digaungkan Mahasiswa: Cederai Demokrasi

Penulis: Malvyandie Haryadi
Editor: Muhammad Zulfikar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ribuan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Selamatkan Demokrasi menggelar mimbar demokrasi di halaman Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Jawa Timur, Rabu (6/12/2023). Mimbar bebas tersebut merupakan gerakan melawan Degradasi Demokrasiyang merusak moralitas bangsa yang terjadi saat ini seperti penggunaan kekuasaan dalam membangun politik dinasti. Mahasiswa juga menolak pelanggaran HAM yang hingga saat ini masih banyak kasus yang belum terselesaikan. TRIBUNNEWS/HO

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penolakan terhadap praktik politik dinasti masih digaungkan mahasiswa di berbagai daerah.

Terbaru, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang menolak keras praktik politik dinasti yang belakangan marak diperbincangkan khalayak.

"Tentunya sangat disayangkan oleh kawan kawan BEM UIN adalah Indonesia yang disebut negara demokrasi justru tercoreng oleh praktik politik dinasti," kata M. Yoga Prasetyo, Ketua BEM UIN Palembang, Senin (18/12/2023).

Baca juga: Buntut Pernyataan Politik Dinasti di DIY, Ade Armando Siap Keluar dari PSI

Ia menilai, pada awalnya presiden Jokowi merupakan sosok pemimpin yang dianggap mampu bersentuhan langsung dengan rakyat,  tetapi belakangan, menurutnya, justru diam-diam mempersiapkan keluarganya untuk berkuasa dengan cara mencederai proses hukum dan demokrasi.

Ditambahkan Yoga, pasca ditetapkannya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90 yang dinyatakan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) terbukti adanya pelanggaran kode etik berat, BEM UIN langsung menggelar aksi mimbar bebas di Simpang 5 DPRD Provinsi Sumatera Selatan untuk kemudian menentang dan mengecam putusan MK Nomor 90 tersebut.

"BEM UIN menentang dan mengecam putusan MK 90 dan menuntut agar putusan tersebut direvisi karena cacat administratif dan tidak sesuai dengan aturan yang ada apalagi ketua MK adalah paman Gibran itu sendiri," tambahnya.

BEM UIN Palembang juga dengan tegas mengecam upaya melanggengkan kekuasaan yang disebutnya telah merusak tatanan demokrasi di Indonesia.

"Proses demokrasi yang ada di negara ini sudah dihancurkan dan dampaknya sangat besar. Mahasiswa dan rakyat sudah tidak percaya lagi terhadap demokrasi yang ada di negara ini," tegasnya.

Baca juga: Penegakan Hukum dalam Dinasti Politik Jokowi di Tengah Pencalonan Gibran sebagai Cawapres

Ia juga menyesalkan sikap penguasa yang tidak netral dan sangat terlihat berat sebelah dengan memberikan dukungan kepada salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden di pilpres 2024 mendatang.

Kontroversi politik dinasti

Nama Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka akhirnya menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.

Hal ini menjadi polemik lantaran adanya putusan Mahkamah Konstitusi terkait syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden.

MK lewat putusannya seakan memberi karpet merah kepada Gibran yang tadinya belum cukup umur untuk dijadikan sebagai cawapres.

Seperti diberitakan, pada 16 Oktober 2923 MK "mengizinkan: kepala daerah maju di pemilihan presiden meski belum berusia 40 tahun.

Putusan itu menuai pro dan kontra, bahkan tak sepi dari kritik karena dinilai lembaga ini melampaui kewenangannya.

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini