TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Capres nomor urut 1 Anies Baswedan menyoroti dugaan keterlibatan orang dalam alias 'ordal' Prabowo Subianto melalui PT Teknologi Militer Indonesia (TMI).
"Tapi dalam kenyataannya Pak, ketika bapak memimpin di Kementerian Pertahanan banyak orang dalam dalam pengadaan alutsista. PT Teknologi Militer Indonesia (PT TMI), Indonesia Defense Security. Lalu orang dalam, dalam pengelolaan food estate," ungkap Anies dalam debat capres di Senayan, Jakarta, Minggu (7/1/2024) malam.
Terkait hal itu, Juru Bicara Timnas Anies Baswedan dan Cawapres Gus Muhaimin Iskandar (AMIN) Reiza Patters menilai praktik orang dalam yang dilakukan oleh Menhan Prabowo dalam pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) TNI dan Polri adalah perbuatan yang tidak pantas secara etika, norma, maupun komitmen pemerintah Indonesia untuk memberantas korupsi dan nepotisme.
“Praktik orang dalam atau ordal pada pengadaan alutsista TNI dan Polri adalah hal yang tidak pantas secara etika, norma, maupun komitmen pemerintah Indonesia untuk memberantas korupsi dan nepotisme. Kita ingat, semangat reformasi di tahun 1998, rezim Soeharto saat itu ditumbangkan oleh rakyat dan mahasiswa karena praktik koruptif dan nepotismenya yang berlebihan akhirnya meruntuhkan sendi-sendi perekonomian Indonesia saat itu,” ujar Reiza Patters, Selasa (9/1/2024).
Baca juga: TKN Sebut Banyak Pendukung Prabowo Kecewa dengan Pernyataan Anies yang Singgung Kepemilikan Tanah
PT Teknologi Militer Indonesia (TMI), ujar Reiza, pernah menjadi sorotan karena disebut terkait dengan tersebarnya dokumen Rancangan Peraturan Presiden (Raperpres) tentang Pemenuhan Kebutuhan Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan Kementerian Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia Tahun 2020-2024.
“Kita tahu bahwa procurement atau pengadaan barang dan jasa apapun di tubuh pemerintahan yang melibatkan orang dalam itu pasti terjadi inefisiensi proses bisnis di dalamnya. Rawan terjadi markup, pemilihan produk yang tidak berkualitas, tidak sesuai kebutuhan, karena ada conflict of interest atau konflik kepentingan di dalamnya," ujarnya.
Padahal, menurut dia, dana untuk pengadaannya dibayar dengan uang pajak rakyat yang berharap negara ini maju, adil, dan makmur untuk semua.
"Rakyat ingin setiap rupiah uang pajak mereka digunakan dengan sebaik-baiknya,” tandasnya.
Terlebih kalau pengadaannya adalah alutsista, potensi problemnya, papar Reiza, menjadi lebih jauh lagi.
“Kalau procurement atau pengadaannya dengan ordal itu adalah alutsista, maka kompleksitas dan risikonya menjadi lebih tinggi. Alutsista yang dibeli bisa tidak semestinya yang berarti tidak efektif dan efisien bagi kebutuhan atau spefisikasi sistem pertahanan dan keamanan Indonesia,” ujarnya.
“Jika itu alutsista bekas misalnya, juga rawan terjadi kecelakaan yang kerapkali terjadi belakangan. Hal itu jelas membahayakan nyawa TNI, Polri penggunanya serta masyarakat secara umum. Kalau kita lihat prinsip audit perangkat di manapun kan, keselamatan pengguna dan masyarakat itu yang terutama, baru menyelamatkan atau memulihkan (recovery) perangkatnya itu sendiri kan,” pungkas dia.