TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tiga pakar hukum tata negara angkat bicara tanggapi wacana pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) oleh Petisi 100 dari sejumlah tokoh yang mendatangi Menko Polhukam Mahfud Md, baru-baru ini.
Ketiga pakar hukum tata negara ini adalah Zainal Arifin Mochtar dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie, dan Yusril Ihza Mahendra yang kini bergabung di TKN Prabowo-Gibran.
Menurut Zainal, hal tersebut tidak mudah dilakukan karena membutuhkan proses panjang.
Ia mengatakan pemakzulan presiden harus melewati proses yang tidak sederhana, mulai dari penentuan alasan pemberhentian presiden, hingga proses panjang yang harus dilewati.
“Jadi secara substansi [alasan pemakzulan] bukan hal sederhana, dan secara proses lebih tidak sederhana lagi, karena harus ke DPR, MK, dan MPR,” kata Zainal, seperti dikutip dari BBC News Indonesia.
Inkonstitusional
Sementara, Yusril Ihza Mahendra, menilai gerakan tersebut inkonstitusional karena tidak sejalan dengan ketentuan Pasal 7B UUD 1945.
Yusril menjelaskan hal ini berbuntut pada pemakzulan Jokowi dalam kurun satu bulan sebelum hari pencoblosan 14 Februari.
Yusril mengatakan mustahil proses pemakzulan dapat dilakukan dalam waktu kurang dari satu bulan. Sebab proses pemakzulan itu panjang dan memakan waktu.
"Prosesnya harus dimulai dari DPR yang mengeluarkan pernyataan pendapat bahwa Presiden telah melanggar Pasal 7B UUD 45, yakni melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, melakukan perbuatan tercela atau tidak memenuhi syarat lagi sebagai Presiden," kata Yusril dalam keterangan tertulis, Minggu (14/1/2024).
"Tanpa uraian yang jelas aspek mana dari Pasal 7B UUD 45 yang dilanggar presiden, maka langkah pemakzulan adalah langkah inkonstitusional."
Yusril memperkirakan proses pemakzulan presiden paling singkat memakan waktu enam bulan.
Artinya, setelah Pemilu 2024 digelar. Dia mewanti-wanti pemakzulan itu membawa kondisi pemerintahan menjadi chaos karena kekosongan kekuasaan.
"Sementara kegaduhan politik akibat rencana pemakzulan itu tidak tertahankan lagi. Bisa-bisa pemilu pun gagal dilaksanakan jika proses pemakzulan dimulai dari sekarang. Akibatnya, 20 Oktober 2024 ketika jabatan Presiden Jokowi habis, belum ada presiden terpilih yang baru. Negara ini akan tergiring ke keadaan chaos karena kevakuman kekuasaan," ujarnya.