News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilpres 2024

Ahli Tegaskan Ambang Batas Parlemen Perlu Dibahas Ulang

Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pengamat politik dari Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) Philips J Vermonte.

Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional Indonesia Philips J. Vermonte mengatakan, dalam praktiknya, besaran ambang batas selalu menjadi kompromi politik antara pembentuk undang-undang.

Hal itu disampaikan Philips saat menjadi ahli yang dihadirkan oleh Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) sebagai Pemohon Perkara 116/PUU-XXI/2023, dalam sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), pada Senin (22/1/2024).

Philips mengatakan, sebagai suatu kebijakan politik di dalam ketentuan hukum pemilu yang berdampak pada kesempatan partai politik terpilih untuk ikut serta dalam penghitungan kursi DPR, ia menyebut perlunya suatu rumusan yang jelas untuk memastikan angka ambang batas.

“Itu jelas suatu rumusan matematika pemilu yang jelas rujukan akademiknya. Hal yang sama mestinya diterapkan pula di dalam perumusan ambang batas parlemen," kata Philips, di Ruang Sidang Pleno gedung MK, Jakarta Pusat, Senin.

Menurutnya, perlu dibahas ulang mengenai makna 'penyederhanaan sistem multipartai' yang kerap menjadi tujuan diberlakukannya ambang batas.

"Menurut hemat saya, penting juga untuk mendudukan ulang makna 'penyederhanaan sistem multipartai' yang selalu dijadikan tujuan utama dalam perdebatan penentuan besaran ambang batas formal di undang-undang pemilu,” ucapnya.

Lebih lanjut, Philips menjelaskan, Duverger membagi klasifikasi sistem kepartaian, pada awalnya ditinjau dari jumlah atau numerik partai politik yang masuk parlemen.

Namun dalam perkembangannya, jumlah numerik ini tidak hanya dilihat dari segi jumlah partai politik yang ada di parlemen saja, tapi juga komposisi perolehan kursi yang didapatkan oleh partai politik yang mempengaruhi interaksi antar partai politik dalam menghasilkan kebijakan.

“Kedua, upaya penyederhanaan partai politik perlu memikirkan reformulasi pada variabel lain di sistem pemilu, yang salah satunya menurut saya adalah besaran daerah pemilihan. Dalam kesempatan yang lebih tepat, pembentuk undang-undang perlu untuk memikirkan dan mempertimbangkan aspek ini," kata Philips.

"Ketiga, ada banyak dimensi yang dapat digunakan sebagai basis perhitungan ambang batas parlemen. Salah satu pertimbangan yang perlu menjadi perhatian utama adalah, bagaimana suara pemilih tidak banyak terbuang, dan besaran ambang batas parlemen betul-betul mampu membuat konsentrasi kursi di DPR tidak tersebar lagi ke banyak partai politik,” tuturnya.

Sebelumnya dalam sidang pendahuluan, Perludem menyampaikan, ambang batas parlemen adalah salah satu variabel penting dari sistem pemilu yang akan berdampak langsung kepada proses konversi suara menjadi kursi.

Menurut mereka selaku Pemohon, ketentuan ambang batas parlemen ini tidak boleh tidak dikaitkan dengan ketentuan di dalam Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu yang mengatur bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR baik provinsi maupun kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.

Dalam permohonannya, Perludem mengatakan, ketika pemilu di Indonesia menegaskan sistem pemilu legislatifnya menggunakan sistem proporsional, tetapi hasil pemilunya menunjukkan hasil yang tidak proporsional.

Menurut Pemohon, hal itu karena persentase suara yang diperoleh partai politik tidak selaras dengan persentase perolehan kursi di parlemen.

Terkait hal itu, mereka menyoroti adanya persoalan mendasar yang mesti dituntaskan di dalam sistem pemilu proporsional di Indonesia.

Persoalan tersebut berkaitan langsung dengan daulat rakyat sebagai fondasi utama dari penyelenggaraan pemilu, serta pemenuhan asas pemilu yang jujur dan adil di dalam Pasal 22E ayat (1), dan tentang adanya kepastian hukum di dalam sebuah regulasi penyelenggaraan pemilu sebagaimana diatur di dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, dan berkaitan juga dengan prinsip negara hukum di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini