News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilpres 2024

Eep Saefullah Fatah: Presiden 2024-2029 Harus Bentuk UU Lembaga Kepresidenan

Penulis: Rizki Sandi Saputra
Editor: Malvyandie Haryadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pengamat politik dari PolMark Research Center Eep Saefullah Fatah (tengah) saat diskusi politik bertajuk Ngobrolin People Power di Kawasan Cikini, Jakarta, Jumat (26/1/2024).

Laporan Reporter Tribunnews.com, Rizki Sandi Saputra

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik dari PolMark Research Center Eep Saefullah Fatah menyatakan, pentingnya presiden terpilih dalam pilpres 2024 membentuk undang-undang (UU) yang mengatur lembaga kepresidenan.

Sebab kata Eep, presiden pengganti Joko Widodo (Jokowi) harus punya komitmen untuk mengembalikan demokrasi ke jalur yang benar dan tidak boleh berkhianat kepada rakyat.

Pernyataan itu disampaikan Eep sekaligus merespons soal langkah politik Jokowi yang terlalu jauh cawe-cawe atau ikut campur dalam pilpres 2024 ini.

"Mereka enggak boleh berkhianat lagi seperti (pemerintahan) ini, 10 tahun, apalagi 5 tahun. Menurut saya itu sangat penting, kita harus bikin komitmen sama mereka," kata Eep dalam diskusi politik bertajuk 'Ngobrolin People Power' di kawasan Cikini, Jumat (26/1/2024).

"Justru 5 tahun itu harus titik balik demokrasi Indonesia. Apa misalnya, bikin undang-undang lembaga kepresidenan," sambung Eep.

Menurut pria yang karib disapa Kang Eep itu, UU tentang lembaga kepresidenan tersebut penting, agar ada aturan atau norma yang membatasi kekuasaan presiden di masa krusial, terlebih di akhir-akhir masa kepemimpinannya.

Terlebih kata dia, tidak adanya UU tentang lembaga kepresidenan ini menyebabkan Indonesia menjadi salah satu negara yang tidak memiliki aturan yang mutlak terkait boleh atau tidaknya presiden berkampanye.

Dalam kondisi ini, Eep mencontohkan soal gambar Jokowi di beberapa baliho caleg atau bahkan capres-cawapres.

Menurut dia, gambar Jokowi dalam baliho itu adalah bentuk kampanye padahal syarat seorang presiden kampanye di pemilu adalah mengajukan cuti terlebih dahulu dan dengan catatan tak menggunakan fasilitas negara.

Sementara, sosok Jokowi tidak bisa dipisahkan dengan jabatan presiden dan status kepala negara yang melekat kepadanya.

"Menurut aturan, baliho saya hanya boleh dipasang kalau Jokowi meminta izin kepada presiden untuk cuti karena ketika ada di baliho yang bersangkutan berpihak, pada saat berpihak berarti berlaku aturan yang membatasinya," kata dia.

Kata Eep, permasalahan itu dapat terpecahkan bila ada UU tentang lembaga kepresidenan yang mengatur bagaimana seharusnya presiden bersikap.

Sehingga kata dia, rakyat atau seluruh pihak tidak lagi perlu berdebat terkait dengan pengaturan tersebut.

Halaman
123
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini