Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koalisi masyarakat sipil mengungkap temuan adanya 121 kasus penyalahgunaan kekuasan dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum atau Pemilu 2024.
Pemantauan terhadap netralitas pejabat dan aparatur negara dalam Pemilu 2024 ini dilakukan sejak penetapan calon presiden dan calon wakil presiden (capres atau cawapres) oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) hingga masa kampanye, dari 13 November 2023 hingga 5 Februrari 2024.
Berdasarkan hasil pemantauan, koalisi masyarakat sipil menemukan adanya penggunaan sumber daya negara, mulai dari fasilitas, anggaran, kebijakan dan program untuk kepentingan kampanye dan pemenanganan kontestasi politik elektoral.
"Ditemukan 121 kasus dengan 31 kategori tindakan penyimpangan aparat negara di seluruh Indonesia. Dengan kata lain selama tiga bulan, terjadi rata-rata 40 kasus lebih setiap bulannya," kata Direktur Imparsial Ghufron Mabruri saat memberikan materi dalam diskusi bersama koalisi masyarakat sipil di Jakarta, Minggu (11/2/2023).
Baca juga: Polri Tegaskan Netral di Pemilu 2024 dan Minta Masyarakat Tak Sebar Hoax Jelang Pencoblosan
Secara kuantitatif, lanjut Gufron, jumlah tindakan jauh lebih tinggi dari jumlah kasus yang ada.
Tetapi kemudian dikelompokkan dalam 31 kategori mengacu pada tindakan yang terjadi.
Tujuh bentuk tindakan penyimpangan yang paling mendominasi antara lain 38 dukungan ASN terhadap capres/cawapres tertentu, 16 kampanye terselubung, 14 dukungan terhadap kandidat tertentu, 10 politisasi bantuan sosial (bansos), 9 dukungan pejabat terhadap kontestan tertentu, 8 penggunaan fasilitas negara, dan 5 tindakan intimidasi terselubung.
"Dalam pemantauan ini, sebagaimana dijelaskan dalam kerangka konseptual dan m etodologis, terdapat tiga jenis pelanggaran dalam kasus-kasus penyimpangan aparat negara, yaitu kecurangan pemilu, pelanggaran netralitas, dan pelanggaran profesionalitas," kata Gufron.
Baca juga: Sanksi Pelanggaran Masa Tenang Pemilu 2024, Pidana hingga Denda
Seluruh kasus penyimpangan aparat negara dalam periode pemantauan ini, terdiri dari kecurangan pemilu (60 tindakan), pelanggaran netralitas (54 tindakan), dan pelanggaran profesionalitas (7 tindakan).
"Meski dibedakan dari jenisnya, seluruh bentuk pelanggaran yang terjadi berdampak pada pelanggaran prinsip pemilu yang jurdil dan demokratis," katanya.
Adapun sebaran wilayah pelanggaran-pelanggaran yang ditemukan terjadi di hampir seluruh provinsi di Indonesia dengan lima teratas, yakni DKI Jakarta merupakan provinsi dengan pelanggaran tertinggi (14 kasus) diikuti Jawa Barat (13 kasus), kemudian Jawa Tengah dan Banten (12 kasus), dan Jawa Timur (11 kasus).
Gufron lantas mengungkap kandidat paling diuntungkan berdasarkan penyalahgunaan kekuasan dalam Pemilu 2024 ini.
Yang dimaksud kandidat dalam pemantauan koalisi masyarakat sipil adalah kontestan dalam bentuk orang, seperti pasangan capres-cawapres, caleg DPR RI, caleg DPD RI, serta caleg DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Di samping kategori orang, juga ada kontestan pemilu berupa partai politik.