Laporan Wartawan Tribunnews.com, Mario Christian Sumampow
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Rahmat Bagja mengatakan transaksi jual beli surat suara di Kuala Lumpur, Malaysia, masuk dalam tindak pidana.
Saat ini proses transaksi itu sudah masuk penelusuran oleh Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).
"Ini belum masuk penyidikan, tapi sudah masuk penulusuran. Karena ini masuk pidana, teman-teman sentra Gakkumdu kini juga sedang melakukan proses penyelidikan dan pemberkasan," kata Bagja kepada awak media, Selasa (27/2/2024).
Bagja mengaku sulit menyampaikan terkait dugaan jual beli surat suara itu.
Terpenting, kata dia, saat ini masih dalam proses penyelidikan.
"Masih dalam proses. Agak sulit kita memberitahukan kepada teman-teman," tuturnya.
Baca juga: KPU Harap Pemungutan Suara Ulang di Malaysia Selesai Sebelum 20 Maret 2024
Sebelumnya terdapat fenomena jual beli surat suara pemilu di Malaysia.
Harga surat suara itu dibanderol dengan harga 25 sampai 50 ringgit.
Adapun satu ringgit sama dengan kurang lebih tiga ribu rupiah.
Hal itu diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo dalam konferensi pers yang digelar Migrant Care, Sabtu (10/2/2024).
"Per surat suara bisa berharga 25-50 ringgit," kata Wahyu.
Ia mengungkapkan surat suara yang diperjualbelikan oleh makelar suara berasal dari suara suara metode pos.
Surat suara itu tidak terdistribusi dengan baik sehingga tidak diterima oleh warga negara Indonesia (WNI) di Malaysia.
Menurut Wahyu, motif utama dalam praktik yang selalu terjadi dalam setiap pemilu ini adalah adalah uang.
"Yang terjadi adalah memanfaatkan surat suara yang nganggur di kotak-kotak pos, di apartemen-apartemen. Mereka (makelar) ambilin dan kemudian terkumpul banyak," jelasnya.
Fenomena itu disebut Wahyu merupakan pelanggaran pemilu.
Namun penuntasan masalah tersebut menurutnya terkendala dari sisi yurisdiksi hukum karena terjadi di Malaysia.