TRIBUNNEWS.COM - Kenaikan suara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) saat ini tengah menjadi sorotan berbagai pihak.
Tak terkecuali Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Wakil Ketua Majelis Syuro PKS, Hidayat Nur Wahid (HNW), menyebut dugaan kecurangan Pemilu 2024 termasuk penggelembungan suara PSI dapat dibongkar melalui hak angket DPR RI.
Menurutnya, semua pihak mengetahui dan mempertanyakan dugaan penggelembungan suara partai berlambang mawar itu.
"Semua orang juga tahu tahulah, masa enggak ada yang tahu sih."
"Kan bagaimana dari hari pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam enggak ada pelonjakan, kok tiba-tiba dua hari terakhir terjadi pelonjakan," kata HNW saat ditemui di Jakarta, Senin (4/3/2024).
Lebih lanjut, ia mempersilakan semua pihak mengungkapkan bukti-bukti lonjakan suara PSI yang dinilai sebagai anomali ini.
"Itu bagian-bagian yang sudah disaksikan oleh publik dan silakan untuk kemudian semua pihak memberikan pembuktiannya," sambungnya.
HNW menyatakan, hak angket merupakan sebuah cara untuk membongkar dugaan kecurangan ini.
Ia juga menegaskan bahwa wacana hak angket ini digulirkan bukan karena PSI, melainkan karena adanya dugaan kecurangan pada Pemilu 2024.
"Hak angket saya kira salah satu pintu untuk kemudian, sekali lagi bukan karena PSI-nya, ya, tetapi karena kecurangan pemilu-nya."
"Terjadi dengan apa kepada siapa, eksekutif maupun legislatif keduanya bisa dipertanyakan oleh hak angket," ucapnya.
Baca juga: Hari Ini PDIP Putuskan Hak Angket Dugaan Kecurangan di Pemilu 2024
Sementara itu, Ketua Majelis Pertimbangan PPP, Romahurmuziy atau Rommy, menyatakan partainya akan memasukkan anomali kenaikan suara PSI dalam hak angket DPR.
"Secara politik, DPR akan melakukan percepatan dan terobosan melalui hak angket agar tindakan-tindakan kecurangan pemilu semacam ini dihentikan," kata Rommy kepada wartawan, Minggu (3/3/2024).
Rommy menyebut sejak sebelum pemilu, dirinya sudah mendengar ada operasi pemenangan PSI yang dilakukan aparat.
Menurutnya, para penyelenggara pemilu daerah diberi target untuk mendapatkan 50 ribu suara untuk PSI per kabupaten/kota di Pulau Jawa.
Sedangkan untuk daerah di luar Pulau Jawa ditargetkan memperoleh 20 ribu suara per kabupaten/kota.
"Ini dilakukan dengan menggunakan dan membiayai jejaring ormas kepemudaan tertentu yang pernah dipimpin salah seorang menteri, untuk mobilisasi suara PSI coblos gambar," jelasnya.
Oleh sebab itu, ia menduga penggelembungan suara partai yang dipimpin oleh Kaesang Pangarep itu dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
"Setiap penggeseran suara tidak sah menjadi suara PSI, jelas merugikan perolehan seluruh partai politik peserta Pemilu. PPP siap membawa hal ini sebagai materi hak angket," sambungnya.
Selain itu, dirinya mendesak penyelenggara pemilu, mulai dari KPPS, KPU pusat, hingga Bawaslu supaya dilakukan pemanggilan.
"Juga tidak tertutup kemungkinan aparat-aparat negara lainnya kita panggil. Soal laporan kecurangan kepada Bawaslu, itu diproses sesuai mekanisme yang berlaku," ungkap Rommy.
Rommy meminta KPU di semua tingkatan agar segera menghentikan operasi senyap untuk menaikkan suara PSI.
"Perlu diingat, setiap tindakan memanipulasi hasil pemilu mengandung delik pidana pemilu. Dan melindungi setiap satu suara rakyat, adalah sama dengan mengawal kelurusan demokrasi di Indonesia," tuturnya.
PSI: PPP Salah Jalur
PSI lantas mengomentari niat PPP untuk memasukkan anomali kenaikan suara PSI ke hak angket DPR.
Juru Bicara (Jubir) PSI, Irma Hutabarat, mengatakan bahwa prosedur tersebut salah.
Jika ingin melakukan protes proses pemilu, sambungnya, hal itu bisa diadukan ke Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) atau Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
Irma menjelaskan apabila ada sengketa pemilu, gugatan bisa diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Itu kan jalurnya salah, kalau mau protes ada Panwaslu dan Bawaslu, kalau ada sengketa ke MK,” kata Irma kepada Tribunnews.com di Jakarta Timur, Senin.
Lebih lanjut, ia menyebut hak angket DPR bukan untuk mengurusi pemilu, melainkan untuk mengawasi apakah ada kebijakan dari pemerintah yang salah.
“Apakah ada kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan Undang-Undang? Baru boleh diangket,” paparnya.
(Tribunnews.com/Deni/Rahmat Fajar Nugraha/Fersianus Waku)