Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra, Ahmad Muzani, mengatakan persoalan dugaan kecurangan pemilu 2024 seharusnya bukan diselesaikan lewat jalur hak angket.
Ia memahami bahwa hak angket adalah hak yang melekat yang dimiliki anggota DPR RI untuk menanyakan suatu masalah kepada pemerintah yang dianggap berpotensi menjadi masalah.
Karena itu, kata Muzani, pengajuan hak angket menjadi hak sebuah dewan untuk diajukan.
Namun hak angket tidak tepat jika untuk menyelesaikan masalah dugaan kecurangan Pemilu 2024.
"Kalau angket yang akan diajukan menyangkut tentang persoalan dugaan pelanggaran atau dugaan kecurangan Pemilu, pertanyaanya adalah peserta pemilu itu ada partai politik. Penyelenggaranya adalah KPU. Pengawasnya adalah Bawaslu dan diawasi oleh DKPP," kata Muzani saat ditemui awak media di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (7/3/2024).
Baca juga: Hasto Tepis Isu PDIP Tak Satu Suara Usulkan Hak Angket
Atas dasar itu, Muzani mengatakan bahwasanya penyelesaian masalah itu seharusnya dibicarakan lewat rapat tingkat komisi.
Nantinya DPR bisa mengundang KPU, Bawaslu maupun DKPP untuk diklarifikasi.
"Semua persoalan yang menjadi dugaan penyelenggaraan dugaan kecurangan penyelenggaraan pemilu mestinya bisa diselesaikan tingkat komisi yang orang-orang itu adalah orang yang dipilih DPR. Pesertanya adalah parpol yang semuanya ada di Senayan," katanya.
"Jadi untuk apa kemudian angket diselenggarakan untuk mempersangkakan sesuatu yang kita semua juga merasakan di lapangan dan bisa diselesaikan rapat konsultasi lewat KPU, Bawaslu, DKPP dengan DPR," sambungnya.
Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran ini menyatakan bahwa sikap Partai Gerindra tidak berubah soal usulan hal angket.
Partai berlambang burung garuda itu tidak sepakat dengan usulan tersebut.
"Instruksi kami menganggap bahwa angket tidak perlu," tutupnya.
Informasi saja saat ini baru tiga fraksi yang telah secara terbuka untuk menggulirkan hak angket dugaan kecurangan Pemilu 2024.
Mereka adalah PKB, PKS dan PDIP juga telah mendorong hal tersebut saat rapat paripurna di DPR RI pada Selasa (5/3/2024) lalu.
Sementara itu, Partai NasDem baru belakangan turut memberikan dukungan kepada hak angket tersebut.
PPP yang juga rekan koalisi PDIP masih belum memutuskan apakah diperlukan hak angket atau tidak.
Namun langkah hak angket itu dianggap sedang diganjal oleh pihak tertentu.
Hal tersebut diungkap oleh Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto.
Ia mengatakan berbagai pihak yang menyerukan perlawanan untuk mengungkap kecurangan pada Pemilu 2024 mulai diintimidasi kekuatan tertentu.
Hasto menyebut pihak yang selama ini menyerukan hak angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan Pemilu 2024 diintimidasi memakai instrumen hukum.
Termasuk, kata Hasto, terhadap calon presiden (capres) nomor urut 3, Ganjar Pranowo yang menyuarakan penggunaan angket dan kini mulai diintimidasi dengan dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Bagaimana perlawanan secara terukur itu, ya, kita lihat bagaimana reaksinya, aksi dan reaksinya, baru Pak Ganjar mengusulkan hak angket, langsung disetrum, ada yang melaporkan ke KPK," kata Hasto dalam sebuah diskusi di Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, Kamis (7/3/2024).
Hasto bahkan menyebut media tidak luput menjadi sasaran intimidasi setelah rutin menyuarakan angket demi menyelidiki dugaan kecurangan Pemilu pemilu 2024.
"Itu setruman-setruman itu banyak sekali, ini media sudah banyak yang disetrum. Tempo, Kompas, Media Indonesia pasti," ujarnya.
Dia menjelaskan berbagai pihak yang tidak setuju terhadap penggunaan hak angket berlindung di balik prosedural agar wacana itu gagal.
Misalnya, kata dia, para penolak angket menyarankan pihak yang mengusulkan hak parlemen itu memakai laporan ke Bawaslu terhadap kecurangan Pemilu 2024.
"Inilah yang kemudian wajah populis yang ternyata berlindung di balik kata-kata demokrasi prosedural silakan ajukan ke polisi silakan ajukan ke Bawaslu ini, kan, demokrasi prosedural tetapi dalam substansinya sudah tidak ada lagi demokrasi kedaulatan rakyat itu. Maka, opsinya bagaimana politik sebagai opsi, tetapi syaratnya harus muncul," ucap Hasto.
Hasto menuturkan langkah intimidasi sebenarnya sudah dirasakan PDIP yang mulai berbeda jalan dengan penguasa pada Pemilu 2024.
Menurutnya, 54 persen kepala daerah yang berasal dari PDIP mengalami bentuk intimidasi pihak tertentu dengan memakai instrumen hukum.
"Kami punya 54 persen kepala daerah, digencet semuanya. Caranya, kepala dinasnya dipanggil dulu atas persoalan hukum. Lalu itu dijadikan instrumen untuk menekan," ungkap Hasto.
Hasto pun mengaku tidak luput menjadi sasaran intimidasi setelah rutin bersuara menyikapi berbagai dugaan kecurangan pada Pemilu 2024.
Dia bahkan menganggap pelaksanaan Pemilu tahun ini menjadi gabungan kecurangan kontestasi politik 1971 dan 2009 ketika aparat negara dipakai menekan lawan politik serta penggunaan bansos.
Namun Hasto mengaku sudah ditempa kuat di PDIP dengan tidak takut menghadapi berbagai macam intimidasi menyuarakan kebenaran.
"Saya sering diintimidasi, tetapi karakter kami yang dibangun, semakin kami diintimidasi, semakin kami melawan," imbuhnya.