"Ambang batas parlemen diperlukan agar ketertiban suara di DPR lebih terfokus dan tidak menjadi ajang kekuasaan Parpol, 7 persen angka yang rasional, agar parlemen diisi oleh dominasi dukungan publik," kata Dedi dihubungi Kamis (7/3/2024).
Menurutnya dibandingkan menghapus ambang batas parlemen, lebih baik menghapus ambang batas presiden atau presidential threshold 20 persen.
"Berbeda halnya dengan presiden, justru yang perlu dihapus adalah ambang batas presiden. Hal ini karena presiden mewakili langsung publik, sementara parlemen tidak, mereka mewakili parpol," tegasnya.
Terpisah, Sekretaris Jenderal Partai NasDem, Hermawi Taslim, juga menilai, justru seharusnya ambang batas parlemen harus dinaikan secara bertahap.
Hal itu semata, agar terciptanya penyederhanaan partai politik yang terjadi secara alami oleh keputusan masyarakat dalam memilih.
"Kami (NasDem) berpendapat bahwa pengaturan pembatasan ambang batas parlemen tetap diperlukan, dan secara bertahap dinaikan agar terjadi penyederhanaan partai secara alami," kata Taslim, Jumat (1/3/2024).
Kata Taslim, sejatinya ambang batas tetap harus ada, sebagai bentuk praktik demokrasi yang modern dan mewujudkan partai politik yang ideal masuk ke parlemen.
"Pemberlakuan ambang batas parlemen adalah sebuah praktik demokrasi modern dalam rangka konsolidasi demokrasi, untuk mewujudkan jumlah partai yg ideal dalam keikut sertaan pada pemilu," kata Taslim.
Taslim mengatakan, praktik demokrasi yang memiliki ambang batas sejatinya akan menciptakan proses yang sehat.
"Karena mendorong partai-partai yang se-idelogi, se-platform untuk menyatukan diri agar menjadi kekuatan politik yang besar dan diperhitungkan dalam pencaturan politik," beber dia.
(Tribunnews.com/Milani Resti/Rizki Sandi Saputra/Rahmat Fajar Nugraha)