TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah elite Koalisi Indonesia Maju pendukung Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka berharap kerja sama politik yang telah dibangun tidak berhenti seusai Pemilihan Presiden 2024.
Selain menghadapi Pemilihan Kepala Daerah 2024, kerja sama politik itu diharapkan juga berlanjut dengan bersama-sama mengisi pemerintahan lima tahun ke depan.
Menggunakan nama Koalisi Besar atau Barisan Nasional, gabungan partai politik di dalamnya juga akan melibatkan Joko Widodo.
Sejak awal karier politiknya, Jokowi diketahui bergabung dengan PDI Perjuangan hingga dikabarkan akan bergabung dengan Partai Golkar.
Pengamat politik Yunarto Wijaya menjelaskan, ada dua kacamata yang digunakan untuk melihat demokrasi.
Pertama, dari sisi demokrasi yang sesungguhnya dan kedua, demokrasi kultus.
“Perbedaannya begini, kalau kita bicara dalam demokrasi kultus, kita akan menempatkan Indonesia atau partai-partai politik bagaimana kemudian ditempatkan supaya Jokowi bisa tetap memiliki posisi dan karier politik,” kata Yunarto Wijaya dalam Program Satu Meja The Forum, Kompas TV, Rabu (13/3/2024) dengan tema “Masa Depan Jokowi Pimpin Golkar atau Koalisi Besar?”.
“Tapi, kalau kita bicara dalam demokrasi sesungguhnya, bagaimana kita menempatkan Jokowi dalam konteks sebagai mantan presiden supaya Indonesia lebih baik dengan pemerintahan yang baru.”
Dalam konteks demokrasi yang sesungguhnya, Yunarto mengulang pernyataan Jokowi yang mengatakan akan kembali sebagai masyarakat biasa dan kembali ke Solo.
“Saya pikir saya hanya mengulang pernyataan Pak Jokowi sendiri dalam sebuah wawancara resmi, dia akan kembali sebagai masyarakat biasa, dia akan kembali ke Solo.”
“Kenapa ini menjadi sangat penting dalam demokrasi? Ketika kita bicara keberlanjutan, apa pun istilahnya, Indonesia emas, Indonesia maju, berdaulat dan lain-lain, programnya yang kita lanjutkan, nilai-nilainya yang kita lanjutkan,” tambah Yunarto.
Bukan kemudian justru berkutat dan menghabiskan energi dengan berpikir bagaimana menempatkan ‘orangnya’ dalam kekuasaan.
“Kalau orangnnya sudah tidak bisa, anaknya harus ada, lalu kemudian mantunya harus ada, energi kan habis dalam pro kontra seperti itu.”
“Ketika kita berbicara mengenai harus menempatkan Pak Jokowi dalam bentuk apa pun, ketua koalisi dan lain-lain, yang terjadi adalah menurut saya ini upaya untuk merendahkan presiden terpilih,” tegasnya.