TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli Information Technology (IT) Institut Teknologi Bandung (ITB), Hairul Anas Suaidi menyatakan, data Sirekap baru mencapai 80 persen, tapi Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI sudah mengumumkan hasil Pemilu 2024.
Hal itu, disampaikan Anas, pada acara “Speak Up” di saluran YouTube Abraham Samad, yang dipantau Rabu (27/3/2024).
Menurut Anas, ketika KPU mengumumkan hasil pemilu pada 20 Maret 2024, seharusnya proses rekapitulasi suara di Sirekap sudah final dan berhenti otomatis. Itu berarti tidak ada lagi proses rekapitulasi, baik penambahan data maupun perbaikan data suara di Sirekap.
Baca juga: Jaga Pemilu Terima 914 Dugaan Pelanggaran Pemilu 2024, Sirekap Paling Tinggi Dilaporkan Masyarakat
Kenyataannya, data rekapitulasi suara yang diproses Sirekap baru mencapai 80%, bukan 100% ketika KPU mengumumkan hasil Pemilu pada 20 Maret 2024. Padahal seharusnya hasil perhitungan manual berjenjang seperti yang telah diumumkan KPU sebagai penetapan hasil Pemilu 2024 sinkron dengan data di Sirekap.
"Apakah wajar dengan waktu yang rentangnya terlalu panjang, Sirekap baru menyelesaikan 80% rekapitulasi suara? Seharusnya hari kedua setelah pemungutan suara, data di Sirekap sudah masuk 100%, jadi tinggal diproses dengan penghitungan manual berjenjang oleh KPU," ujar Anas.
Hal ini, lanjutnya, menjadi suatu keanehan karena seharusnya data Sirekap dengan sistem IT yang lebih canggih dari sistem Situng yang dipakai KPU pada 2019 dapat menyelesaikan rekapitulasi suara lebih cepat.
Baca juga: Duduk Perkara Connie Rahakundini Bakrie Dilaporkan ke Polisi Terkait Sirekap
Keanehan lain yang ditemukan Anas adalah proses rekapitulasi suara di Sirekap masih mengalir sampai tanggal 22 Maret 2024. Seharusnya sistem Sirekap berhenti ketika KPU telah mengumumkan hasil Pemilu 2024.
“Kalau kita lihat kan pengumuman KPU tanggal 20 Maret, ternyata di tanggal 21 dan 22 Maret itu datanya (Sirekap) masih mengalir terus. Loh ini rekapitulasi suara pemilu sudah selesai belum sih, kok masih mengalir datanya?" kata Anas.
Selain itu, Anas juga menemukan bahwa Kejanggalan lain yang ditemukan Anas adalah hasil rekapitulasi manual berjenjang yang diumumkan KPU pada 20 Maret 2024 ternyata tidak jauh berbeda bahkan dapat dikatakan mirip dengan hasil quick count yang mengacu pada Sirekap.
Anas mengungkapkan, ada banyak catatan error dari Sirekap, namun ketika hasil rekapitulasi manual berjenjang yang diumumkan KPU mirip dengan data Sirekap, maka hal itu bisa jadi menunjukkan rekapitulasi suara manual berjenjang juga mengalami error.
"Di Sirekap ada catatan error sangat banyak, tapi kok yang hasil manual berjenjang mirip dengan data Sirekap? Berarti dugaan saya sebagai orang IT di proses rekapitulasi manual berjenjang juga ada error. Ini bisa menjadi masalah atas hasil Pemilu yang sudah diumumkan KPU," tutur Anas.
Data di TPS Berubah
Terkait dengan error yang ditemukan pada Sirekap, Anas menjelaskan, salah satu diantaranya adalah data di Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berubah-ubah.
Menurut Anas, ditemukan sekitar 30% TPS atau sekitar 292.000 TPS yang datanya mengalami perubahan. Anehnya, perubahan tidak hanya sekali terjadi, tetapi berulang kali.
"Saya melihat 30% TPS dari 820.000 sekian TPS itu sekitar 292.000 TPS berubah-berubah angkanya, bahkan ada satu TPS itu sampai 766 kali berubah," ungkap Anas.
Dia menuturkan, hal ini harus dijelaskan oleh KPU, mengenai masalah yang terjadi pada sistem Sirekap. Apakah ada error pada sistem ataukah jangan-jangan ada gangguan dari hacker (peretas).
Baca juga: Pakar IT Sebut Data Sirekap Ceroboh dan Tidak Valid, Berikut Penjelasannya
Anas menambahkan, analisa terhadap data rekapitulasi suara di Sirekap pun menjadi sulit karena proses tabulasi selanjutnya yang di scan KPU dalam bentuk data PDF bukan dari Excel.
Hal ini menyulitkan pencocokan data antara form C1 yang sudah di scan dengan data pada Sirekap yang tidak sesuai form C1 dan sudah diperbaiki, dan hasil rekapitulasi manual berjenjang.
Padahal dengan menampilkan hasil excel data yang diperbaiki agar sesuai dengan form C1 yang di scan, maka bisa ditelusuri data yang salah terjadi di mana dan perbaikannya dilakukan oleh siapa.
"Idealnya kalau scan form C1 enggak bisa terbaca, diisi data secara manual bisa langsung diperbaiki dan sinkron. Tapi kenyataannya perubahan terjadi berulang-ulang. Itu perubahan yang boleh dibilang ilegal dan tidak masuk akal. Kenapa diubah-ubah sebanyak itu, apakah memang C1-nya beda atau di-upload ulang," ujar Anas.
Terkait dengan itu, Anas menyampaikan, perlu dilakukan digital forensik dalam mengusut hasil rekapitulasi suara yang telah diumumkan KPU. Dengan demikian, dapat dibedah apakah data pada Sirekap sinkron dengan data pada hasil rekapitulasi suara manual berjenjang.
"Kita tidak bisa membiarkan masalah ini diabaikan begitu saja karena ini menyangkut sistem negara, dipakai oleh lembaga negara untuk kepentingan masyarakat. Kalau ini tidak dijelaskan berarti ada sesuatu yang sedang terjadi dalam sistem pemilu kita," kata Anas.