TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) dapat menganulir hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 karena unsur dugaan kecurangan terstruktur dan sistematis terpenuhi.
Hal itu, disampaikan Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Djohermansyah Djohan yang juga menjadi saksi ahli pada persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2024 di MK.
Menurut Djohermansyah, kemenangan pasangan calon (paslon) nomor urut 2 di Pilpres 2024 yang dicapai melalui kecurangan terstruktur dan sistematis yang terlihat jelas sehingga dapat dianulir MK.
Unsur kecurangan terstruktur dan sistematis itu, antara lain penunjukan penjabat (Pj) gubernur, wali kota, dan bupati oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Bahkan, rangkaian rapat koordinasi yang dilakukan dengan kepala desa hingga Babinsa.
Penggunaan aparatur sipil negara (ASN) sebagai Pj kepala daerah membuat presiden dapat mengarahkan atau mengendalikan dukungan yang harus diberikan kepada paslon yang berkontestasi di Pilpres 2024.
Apalagi Presiden Jokowi secara terang-terangan menunjukkan dukungan kepada paslon nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka (Prabowo-Gibran).
Hal itu antara lain dengan melakukan makan bersama Prabowo di masa kampanye, dan hasil perolehan suara Pilpres 2024 rata-rata di atas 50 persen di daerah-daerah yang kepala daerahnya merupakan Pj yang ditunjuk presiden.
"Dengan pemilu yang fraud, maka seperti wasit di pertandingan bola, MK bisa menganulir dengan menganulir golnya, dan memberikan kartu kuning bahkan kartu merah kepada paslon yang meraih kemenangan dari kecurangan," tutur Djohermansyah dalam acara “Speak Up,” di YouTube Channel Abraham Samad, yang dipantau Kamis (11/4/2024).
Dengan menganulir hasil kemenangan Paslon nomor urut 2, maka harus dilakukan Pilpres ulang. Paslon 2 bisa tetap ikut jika hanya mendapatkan kartu kuning dari MK.
Tetapi jika mendapat kartu merah, maka Prabowo-Gibran tak bisa ikut kontestasi Pilpres 2024.
Djohermansyah berpendapat, kartu kuning dan kartu merah yang diberikan MK bukan hanya kepada paslon tetapi juga kepada pihak-pihak yang ikut terlibat, seperti presiden dan para menteri yang mendukung paslon.
Hal itu layak dilakukan karena preferensi dari presiden dan para menteri yang menjadi Ketua Umum (Ketum) Partai atau berasal dari partai pendukung paslon di Pilpres 2024 sudah ketahuan.
"Karena ada unsur nepotisme dan bisa menabrak konstitusi yang harus dihindari, maka MK bisa memberikan kartu kuning dengan mengistirahatkan atau meminta pejabat negara mengambil cuti karena tak dapat dipungkiri preferensi mereka mendukung calon tertentu sudah terlihat," ujar Djohermansyah.
Tanpa Kampanye
Mantan Dirjen Otonomi Daerah pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu, mengungkapkan sangat mungkin untuk melakukan Pilpres ulang, meskipun ada jadwal Pilkada serentak, pada 27 November 2024.
Jika MK membuat putusan PHPU yang sesuai jadwal berakhir pada 26 April 2024, maka Pilpres ulang dapat dijadwalkan pada Juli 2024, tanpa mekanisme kampanye.
Jika tidak ada paslon yang mencapai 51% suara maka Pilpres tahan II dapat dilakukan di September 2024 bersamaan dengan Pilkada.
"Jangan bilang waktu sudah mepet. Itu enggak benar, sebab kita sudah punya pengalaman menyelenggarakan pemilu dengan tahapan yang pendek sejak 2004-2009. Yang perlu diperhatikan itu pemilu harus jujur dan adil, bukan apapun hasilnya diterima saja, sehingga mengabaikan rasa keadilan di masyarakat," tutur Djohermansyah.
Ia berharap Hakim MK memiliki sikap kenegarawan untuk dapat membuat putusan terkait PHPU yang didasarkan pada kepentingan bangsa ke depan, dan keberlangsungan demokrasi yang bermartabat.
Djohermansyah mengungkapkan saat menjabat sebagai Dirjen Otonomi Daerah di era Presiden SBY, dia sempat mengajari Presiden Joko Widodo yang saat itu menjabat sebagai Walikota Solo, tentang tata kelola pemerintahan yang baik atau Good Corporate Governance (GCG). Hal itu, juga berlangsung saat Jokowi menjadi Gubernur DKI.
Dia mengaku, mengenal sosok Jokowi sebagai pemimpin yang populis, dekat dengan rakyat, namun ada kekurangannya, yaitu pragmatis.
Sifat inilah yang membuat Jokowi dapat melakukan upaya mengatasi persoalan sesuai kebutuhannya, termasuk membuat kebijakan padahal belum ada anggaran dan payung hukumnya.
"Padahal enggak bisa begitu karena birokrasi itu harus tertib dan teratur. Setiap pejabat harus ikut itu enggak bisa politisi, memaksa birokrasi mengikuti kebutuhannya atau keinginannya, karena akhirnya birokrasi itu berjalan tidak profesional," ungkap Djohermansyah.