TRIBUNNEWS.COM. JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini, Senin (22/4/2024) akan membacakan putusan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU) Tahun 2024.
Dalam proses persidangan perkara PHPU, MK dan pihak-pihak terkait telah menjalani prosesnya dan juga telah melakukan pelibatan publik untuk berpendapat, melalui amicus curiae atau sahabat pengadilan.
Adapun sidang putusan PHPU Pilpres akan digelar pada pukul 09.00 WIB.
Juru Bicara MK, Fajar Laksono mengatakan, peradilan konstitusi itu telah mengirimkan surat panggilan kepada para pemohon.
Baca juga: 7 Ribu Lebih Aparat Gabungan Bakal Amankan Sidang Putusan Sengketa Pilpres di MK Besok
Fajar menjelaskan, pembacaan putusan untuk kedua pihak pemohon itu akan digabungkan dalam satu sidang.
"Digabung di ruang sidang yang sama, dalam satu majelis yang sama," kata Fajar di Gedung MK, Jakarta, Jumat (19/4/2024).
Meski sidangnya digabung, namun untuk putusannya tetap dipisah masing-masing pemohon.
Sementara itu, untuk pihak yang boleh hadir di dalam ruang sidang pleno MK, kata Fajar, adalah para pihak yang terkait PHPU Pilpres.
"Kita panggil semuanya, pemohon 1, pemohon 2, termohon, pihak terkait, pemberi keterangan Bawaslu, ya 4 ini lah untuk 2 perkara itu, ada 8 surat yang kita kirimkan," ungkapnya.
Total Amicus Curiae Diterima MK
Menjelang pembacaan putusan sengketa Pilpres, hingga Jumat (19/4/2024), MK telah menerima 48 dokumen, di mana 14 di antaranya sudah diserahkan ke hakim konstitusi.
Adapun 14 dokumen tersebut akan menjadi bahan pertimbangan adalah dokumen yang diterima hingga 16 April 2024 pukul 16.00 WIB sejak MK menggelar sidang perdana sengketa Pilpres 2024, Rabu (27/3/2024).
Keputusan hanya mengambil 14 dokumen ini merupakan pertimbangan majelis hakim konstitusi dan sejalan dengan tenggat waktu penyerahan kesimpulan Pemohon, Termohon, Pihak Terkait, dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) hingga 16 April 2024 pukul 16.00 WIB.
Dari puluhan amicus curiae, ada yang berasal dari mantan Presiden ke-5 dan juga Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri.
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan, perasaan Megawati yang dikontemplasikan dan diawali tulisan tangan menggunakan huruf merah, mencerminkan keberanian dan juga tanggung jawab sebagai warga negara Indonesia.
“Karena itulah Ibu Mega sampai menambahkan tulisan tangan sebagai ungkapan bagaimana perjuangan dari Raden Ajeng Kartini, juga tidak akan pernah sia-sia, karena emansipasi itu merupakan bagian dari demokrasi sehingga ketika kita menghadapi kegelapan demokrasi akibat abuse of power yang dilakukan Presiden Jokowi, akibat kepentingan nepotisme untuk anak dan keluarganya, maka menciptakan suatu kecurangan massif dan penggunaan sumber daya negara serta alat-alat negara,” jelas Hasto.
Dia menyebut, surat yang berisi pendapat Megawati sebagai amicus curiae disampaikan dengan kesungguhan sebagai warga negara Indonesia.
Dalam suratnya, Megawati juga mengucapkan terima kasih atas peran aktif seluruh kelompok civil society, para guru besar, para tokoh pro demokrasi, tokoh-tokoh hak asasi manusia (HAM), tokoh-tokoh budayawan dan seniman yang juga telah menjadikan dirinya sebagai _amicus curiae._
“Semua disampaikan demi masa depan bangsa dan negara, demi tanggung jawab pada anak cucu kita,” lanjutnya.
Kedaulatan Rakyat
Pada kesempatan itu, Hasto menegaskan pengajuan diri Megawati sebagai amicus curiae tidak tumpang tindih dengan posisinya sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan, karena pengajuan itu sebagai warga negara Indonesia.
“Artinya sumber kedaulatan rakyat. Kedaulatan hukum itu berasal dari rakyat sehingga seluruh penyelenggara pemerintah negara ini, legalitas dan legitimasinya berasal dari rakyat. Ibu Mega menempatkan bersama dengan rakyat, karena itulah apa yang beliau suarakan adalah suara kebenaran, tidak ada kaitannya, kecuali bagaimana membangun konstitusi demokrasi yang berkedaulatan rakyat,” ujar dia.
Diketahui, PDI Perjuangan adalah pengusung paslon nomor 03 Ganjar Pranowo-Mahfud MD, dan paslon ini melalui tim hukumnya sedang dalam proses sidang perselisihan hasil Pilpres 2024 di MK.
Megawati mengajukan diri ke MK sebagai _amicus curiae_ pada Selasa (16/4/20240, karena terkendala libur panjang Idul Fitri.
Padahal, menurut Hasto, Megawati hendak menyampaikan pandangannya sebagai amicus curiae setelah menulis opini di Harian Kompas yang berjudul “Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi” edisi Senin (8/4/2024).
Pengacara di Amerika
Asosiasi Praktisi Hukum Diaspora Indonesia di Amerika Serikat (AS) atau Indonesian American Lawyer's Association (IALA) turut mengajukan amicus curiae ke MK pada Rabu (17/4/2024).
Perwakilan IALA di Indonesia, Bhirawa Jayasidayatra Arifi menuturkan, penyampaian amicus curiae untuk mendukung penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) Tahun 2024 yang menjunjung tinggi pedoman langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Menurut dia, sebagai asosiasi dengan anggota yang terdiri atas pengacara, praktisi hukum, dan ahli hukum diaspora Indonesia di seluruh wilayah AS, penyampaian surat terbuka kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah bukti nyata IALA untuk mewujudkan komitmen perwakilan masyarakat sipil Indonesia di luar negeri dalam mengawasi penyelenggaraan pemilu di dalam negeri sesuai dengan norma, etika, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Salah satu latar belakang penyusunan dan penyampaian amicus curiae dari kami adalah hasil kajian atas beberapa peristiwa yang dinilai berpotensi mendegradasi legitimasi hasil kerja MK sebagai institusi yang merupakan salah satu produk utama Era Reformasi, sebelumnya pada era Orde Baru, prinsip-prinsip demokrasi hanya terlaksana sekadar formalitas dan pemerintahan pada dasarnya merupakan rezim demokratis yang otoriter,” ujar Bhirawa.
Baca juga: Kawal Putusan MK Besok, Anies Minta Tertib, Prabowo Larang Pendukungnya Turun, Bagaimana Ganjar?
Selama bertahun-tahun, lanjutnya, MK dianggap sebagai sebuah lembaga terkemuka baik di Indonesia maupun di dunia internasional sebagai sebuah lembaga yang mampu mengembalikan prinsip-prinsip demokrasi ke dalam masyarakat Indonesia.
Karena itu, persepsi kemunduran prinsip demokrasi akibat melemahnya MK menjadi isu yang harus segera diatasi sebelum terlambat.
“Selama masa tahapan Pemilu, IALA telah melakukan studi komparatif untuk mengamati proses Pemilu tahun 2024 dari sisi perbandingan tata cara penyelesaian benturan hukum khususnya dalam konteks undang-undang dan ketentuan yang berlaku menyangkut yurisdiksi dan wewenang berbagai lembaga dan perangkat penyelenggara Pemilu di Indonesia, termasuk Mahkamah Konstitusi Indonesia dalam konteks memutuskan ketentuan persyaratan calon presiden dan wakil presiden,” jelas dia.
Kajian-kajian IALA juga secara khusus membahas tentang norma-norma etika dalam menjaga kepercayaan dan/atau keyakinan publik atas sistem pemerintahan sipil apabila ada upaya atau tindakan hukum yang diambil dari pihak yang memiliki kepentingan dalam sistem pemilu di Indonesia secara langsung dan tidak langsung.
Sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi berperan sebagai institusi penjaga amanah Konstitusi dengan berbagai kewenangan salah satunya menguji undang-undang terhadap konstitusi serta memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
“Pada studi komparatif ini kami mempergunakan berbagai kasus dari Mahkamah Agung Amerika Serikat,” kata Bhirawa.
Dia menambahkan, melalui amicus curiae, IALA percaya bahwa MK dapat menjaga amanah kepercayaan masyarakat dalam penyelenggaraan Pemilu tahun 2024 di Indonesia, dan berharap agar MK dapat selalu menjunjung tinggi sumpah jabatan, etika, kepatuhan terhadap hukum, dan loyalitas kepada bangsa dan negara.
Tak Berpengaruh
Direktur Eksekutif Indo Barometer M. Qodari mengatakan, pengajuan amicus curiae ke MK tidak akan mempengaruhi putusan MK.
Menurutnya, para hakim MK diyakini sudah membuat keputusan tinggal membawanya dapat Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk difinalisasi.
“Saya melihatnya sebagai upaya terakhir untuk membentuk opini, mempengaruhi opini dari Mahkamah Konstitusi dari hakim-hakim Mahkamah Konstitusi, kalau kita bicara Mahkamah Konstitusi sebetulnya proses formalnya sudah selesai. Pada hari ini majelis hakim itu tinggal berdiskusilah tinggal rapat saja dan mungkin merenungkan pilihan-pilihan jawaban mereka atau keputusan mereka menghadapi tanggal 22 nanti,” kata Qodari.
Qodari menambahkan semua proses tahapan persidangan sudah selesai dijalani, biarkan para hakim MK mengambil keputusannya berdasarkan bukti dan fakta-fakta di persidangan, bukan dari opini publik yang sengaja masif dihembuskan.
Merujuk pada Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) tugas MK hanya berwenang mengadili persilihan hasil pemilihan umum (PHPU).
“Jadi kalau kita kembali kepada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 sesungguhnya yang namanya MK itu memang fokus kepada hasil, karena itulah kemudian nama sidangnya itu PHPU permohonan hasil pemilihan umum begitu sengketa pemilihan hasil pemilihan umum,” ujar dia.
“Bahkan formatnya sendiri pun itu sudah format yang khusus mengenai hasil di mana di situ KPU angkanya berapa dan angka tandingan dari pihak yang memohon atau menggugat itu angkanya berapa?" lanjutnya.
Seharusnya kata Qodari, pihak penggugat baik tim hukum dari nomor urut 01, Anies – Muhaimin atau kubu 03, Ganjar – Mahfud mengajukan perbandingan perbedaan suara dari yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan versi hitung real count masing-masing pemohon.
“Harusnya pihak 01 mengeluarkan angka misalnya angka kami bukan 24 tapi 40 misalnya, 02 misalnya bukan 58 tapi misalnya 48, sebaliknya 03 juga harus mengajukan angka misalnya 03 mengatakan bahwa kami angkanya 33 misalnya,” ucap dia.
Qodari menyampaikan sebetulnya karena kubu 01 dan 03 tidak mengajukan angka-angka yang dipermasalahkan maka seharusnya tidak diproses dalam pengadilan, namun MK punya kebijakan atau perspektif lain sehingga gugatan mereka tetap bergulir di MK.
“Kalau kita bicara angka-angka maka sebetulnya permohonan dari 01 dan 03 harusnya tidak diproses, tidak diterima oleh Mahkamah Konstitusi, kalau ikut proses yang betul-betul formal. Tapi menurut saya Mahkamah Konstitusi juga ada perspektif politiknya kalau ini tidak ditampung ini tidak diproses sama sekali nanti akan menimbulkan atau akan menimbulkan keresahan dan menyebabkan masalah ini gantung,” ucap dia.
Sementara Amicus Curiae kata Qodari sudah dilakukan hakim MK dengan memanggil empat menteri untuk menjelaskan kebijakan yang dipersoalkan oleh para pemohon.
“Kalau menurut saya sih amicus curiae sebetulnya inisiatifnya sudah diambil oleh MK dengan memanggil para menteri-menteri itu ya minta dijelaskan mengenai proses pengambilan kebijakan mengenai anggaran, mengenai dana perlindungan sosial dan menurut saya itu salah satu bagian yang excellent dari proses pilpres,” ucapnya.
“Dan MK kita kali ini di mana seluruh masyarakat Indonesia menjadi tahu bagaimana perencanaan APBN itu dilakukan dan bagaimana yang namanya perlinsos itu ya kelihatan pos-posnya,” pungkasnya.