News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilkada Serentak 2024

Pengamat Sebut Praktik Kecurangan Pemilu Berpotensi Terjadi di Pilkada 2024

Penulis: Ibriza Fasti Ifhami
Editor: Muhammad Zulfikar
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pengamat politik sekaligus Direktur Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti.

Laporan wartawan Tribunnews, Ibriza Fasti Ifhami

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik Ray Rangkuti mengatakan, praktik kecurangan pemilu masih berpotensi terjadi di pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 mendatang.

Ray menyoroti pendapat Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan sengketa Pilpres 2024 terkait tidak terbuktinya praktik kecurangan pemilu berupa pembagian bantuan sosial (bansos) oleh kubu pasangan calon nomor 02, Prabowo-Gibran.

Baca juga: Golkar Prioritaskan Kapolda Jateng di Pilkada, Duet Irjen Ahmad Luthfi-Siti Atikoh Melejit di Survei

Ray mengatakan, dalam membuat putusan, MK sebagai peradilan tentu memerlukan alat bukti. Namun, dalam konteks praktik kecurangan pemilu ini, menurut Ray, sulit untuk ditentukan salah atau benar jika hanya mengandalkan alat bukti.

Menurutnya, MK perlu menggunakan pendekatan yang tidak kaku dalam menentukan putusan soal bansos di Pemilu 2024.

"MK itu mengatakan enggak bisa terbukti nih bansos. Mana ada orang yang mengatakan bahwa dia terima (bansos), dia memilih si A itu karena dia terima bansos, kan enggak ada. Kan enggak ada juga WA, surat, bahwa bansos itu sengaja disebarkan karena si pemberi butuh suara. Kan enggak ada," kata Ray, dalam diskusi bertajuk 'Buruk Pilpres, Akankah berlanjut di Pilkada?', di Jakarta Selatan, pada Jumat (21/6/2024).

Baca juga: Siapa yang Dampingi Bobby di Pilkada Sumut, Bupati Serdang Bedagai atau Putri Akbar Tanjung?

Terlebih, ia juga menyinggung teguran MK kepada Bawaslu soal ketidaktegasan menindak praktik pembagian bansos. Di mana menurut Ray, Bawaslu juga menyatakan tidak menemukan bukti terkait praktik pembagian bansos.

"Pertanyaannya kepada hakim konstitusi, gimana caranya membuktikan bahwa ada praktik politik bansos?" ujar Ray.

Dengan demikian, Ray menilai, soal praktik kecurangan pemilu masih berpotensi akan terjadi, ketika MK masih menggunakan pendekatan yang mengharuskan adanya alat bukti secara nyata.

"Apa yang bisa kita prediksi (soal kecurangan pemilu) 2024 di Pilkada ini juga akan berlaku yang sama," ucapnya.

Lebih lanjut, dengan pendekatan pembuktian seperti yang dikehendaki MK tersebut, menurut Ray, ada kekhawatiran Pilkada 2024 membuka pintu semakin merajalelanya dinasti politik atau nepotisme politik.

Hal tersebut dikarenakan pembuktian kecurangan pemilu di MK, yang menurut Ray begitu sulit.

Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak sengketa pilpres yang diajukan oleh pemohon I, yakni kubu paslon I Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.

Hal tersebut sebagaimana amar putusan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo (MK), di gedung MK, Jakarta.

"Dalam eksepsi, menolak eksepsi pemohon. Dalam pokok permohonan, Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ucap Suhartoyo membacakan amar putusan, di ruang sidang pleno MK, pada Senin (22/4/2024).

Baca juga: Citra Positif KPU Menguat di Masyarakat Pasca-Pemilu 2024, Hasyim: Jadi Bahan Evaluasi untuk Pilkada

Terdapat 3 hakim konstitusi yang dissenting opinion atau berbeda pendapat, di antaranya Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, Arief Hidayat

Dalam pertimbangan hukum, Mahkamah menilai, dalil kubu Anies-Muhaimin soal dugaan adanya campur tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pencalonan pasangan calon nomor urut 2 Prabowo-Gibran, tidak beralasan menurut hukum.

Hal yang sama juga dinyatakan oleh Mahkamah terkait dalil kubu Anies-Muhaimin yang menyatakan KPU selaku pihak termohon diduga tidak netral dalam tahap verifikasi dan penetapan pencalonan Prabowo-Gibran.

"Dalil pemohon yang menyatakan terjadi intervensi presiden dalam perubahan syarat pasangan calon dan dalil pemohon mengenai dugaan ketidaknetralan termohon dalam verifikasi dan penetapan pasangan calon yang menguntungkan pasangan calon nomor urut 2, sehingga dijadikam dasar oleh pemohon agar Mahkamah membatalkan atau mendiskualifikasi pihak terkait sebagai peserta pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2024 adalah tidak beralasan menurut hukum," kata hakim konstitusi.

Mahkamah menegaskan, putusan 90 tentang syarat usia capres-cawapres 40 tahun dan berpengalaman sebagai kepala daerah tidak serta merta batal meski adanya putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) 2/MKMK/L/11/2023.

Adapun putusan MKMK tersebut menyatakan hakim konstitusi Anwar Usman melakukan pelanggaran berat etik terkait proses memutus perkara 90/PUU-XXI/2023.

Selain itu, Mahkamah menilai tindakan KPU selaku Termohon dalam menerapkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XX/2023 merupakan upaya Termohon dalam menerapkan dan mempertahankan prinsip jujur dan adil dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024

Sehingga, menurut Mahkamah, perubahan syarat pasangan calon yang diterapkan termohon dalam keputusan KPU Nomor 1378 tahun 2023 dan PKPU 23 tahun 2023 dinilai telah sesuai dengan apa yang diperintahkan Putusan MK 90/2023. 

"Sehingga tidak terbukti adanya dugaan keterpihakan termohon terhadap pihak terkait dalam proses penetapan pasangan calon presiden tahun 2024," ucap hakim konstitusi.

Selain itu, Mahkamah juga menyatakan, Presiden Joko Widodo tidak melanggar hukum terkait dugaan politisasi penyaluran bantuan sosial (bansos).

Dalam pertimbangan hukum untuk putusan PHPU yang diajukan pemohon I Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar itu, Mahkamah berpendapat, tidak menemukan bukti mengenai adanya penyaluran bansos yang menguntungkan paslon nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabumingraka.

Hal tersebut merupakan pertimbangan Mahkamah berdasarkan pernyataan empat menteri yang sempat dipanggil MK untuk memberikan keterangan, beberapa waktu lalu. Di antaranya Menko PMK Muhadjir Effendy, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menkeu Sri Mulyani, dan Mensos Tri Rismaharini.

"Setidaknya dari keterangan lisan empat menteri dalam persidangan, Mahkamah tidak mendapatkan keyakinan akan bukti adanya maksud atau intensi dari Presiden terkait dengan penyaluran bansos yang dilakukan oleh Presiden dengan tujuan untuk menguntungkan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 2," kata hakim konstitusi.

Atas alasan tersebut, Mahkamah tidak menilai tindakan Presiden Jokowi soal penyaluran bansos sebagai pelanggaran hukum.

Mahkamah mengaku, tidak menemukan hubungan sebab-akibat antara penyaluran bansos oleh pemerintah dengan dampaknya terhadap paslon Prabowo-Gibran.

"Oleh karena itu, menurut Mahkamah, tindakan Presiden belum dapat dikategorikan sebagai lelanggaran terhadap hukum positif. Terlebih, dalam persidangan, Mahkamah tidak menemukan bukti-bukti yang meyakinkan adanya korelasi dan hubungan kausalitas antara penyaluran bansos dengan pilihan pemilih," jelas hakim konstitusi.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini