Di Sumatera, itu batas yang membedakan sungai-sungai. Jadi, melihat ini memang kultural-budaya. Hal serupa terjadi juga di wilayah-wilayah lain.
"Kita punya budaya berbeda tiap daerah, termasuk pangan. Ini harus dicreate menjadi ikon daerah. Karena konsorsium bakteri, iklim, kelembaban, temperatur beda-beda, kulinernya juga beda-beda. “Kalau kita ekspor bahan mentah memang naik. Tapi sebetulnya turun. Sekarang bahan mentah diolah, ekspornya malah turun,” ujar Ibnu.
Menurut dia, seharusnya keunggulan biodiversitas itu mulai diangkat pelan-pelan. Soal padi misalnya, pada dasarnya dahulu kan padi gogo, bukan padi sawah.
Namun pada perkembangnnya muncul problem perizinan soal varietas.
“Padahal padi gogo bisa produksi lebih banyak dan lebih cepat. Harusnya ini diangkat,” tambahnya lagi.
Hilmar Farid membenarkan hal itu. Menurut dia, salah satu kunci yang hilang dari pembicaraan soal daerah ini adalah soal kekayaan daerah. Padahal, Biodiversitas kita terkaya di dunia.
Lalu, ketika hal ini dipelajari dengan benar, ini bisa jadi potensi.
"Hari ini kita bikin program makan gratis bersumber dari pangan lokal. Jadi, gak perlu uang banyak. Ini kita buat di Lembata, NTT," jelasnya.
Masuk dalam diskusi otoda, dari perspektif masyarakat sipil, soal sumber daya dan kekayaan daerah. Organisasi masyarakat sipil harus dihidupkan kembali.
Pembacaan soal potensi sumber daya dan kekayaan daerah juga dibangkitkan. Ini bisa mendorong perubahan.
Pemikiran-pemikiran di atas merupakan hal penting untuk menjadi bekal bagi para calon pemimpin daerah.
Baca juga: Breaking News: Gerindra Resmi Usung Muzakir Manaf Jadi Cagub Aceh, Ahmad Luthfi Cagub Jateng
"Sebenarnya sudah banyak perubahan yang terjadi sebagai hasil kerja gerakan masyarakat sipil, namun masih lebih banyak lagi yang mesti dikerjakan agar otonomi daerah benar-benar bermanfaat bagi warga bukan sekedar urusan pemimpin daerah," pungkasnya.