News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pilkada Serentak 2024

Pakar Usulkan Kearifan Lokal dan Kebudayaan Masuk Materi Debat Calon Kepala Daerah di Pilkada 2024

Penulis: Fransiskus Adhiyuda Prasetia
Editor: Wahyu Aji
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pakar Usulkan Kearifan Lokal dan Kebudayaan Masuk Materi Debat Calon Kepala Daerah di Pilkada 2024 Inbox Fransiskus Adhiyuda Attachments 6:01 PM (3 hours ago) to tribunnews Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar yang juga Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilman Farid mengingatkan bahwa saat ini, Indonesia mewarisi sistim administrasi kolonial yang tumpang-tindih dengan pemekaran. Dimana, konsep wilayah administratif ini kadang tidak sejalan dengan kultural. Dasar pembagian daerah administratif itu tidak selalu sejalan kultural. Papua, misalnya, dasar pembagian administrasinya dari zaman Belanda dan dasarnya itu ekspresi seni. Ini yang membuat ikatan sosial di daerah itu lemah karena ikatan kulturalnya lemah. Hal itu disampaikan Hilman saat diskusi kelompok terarah (FGD) yang diselenggarakan oleh Agenda 45, di Kawasan Tebet, Jakarta Selatan. Dalam hajatan bertopik 'Memperkuat Otonomi Daerah Melalui Pilkada' itu, mantan Menkopohukam Mahfud MD tampil menjadi keynote speaker. “Jadi, memperkuat Otoda itu apa? memperkuat sistem jangan seperti tadi, memperkuat yang urusan privat. Ini problem yang fundamental yang harus dibahas. Misalnya soal masyarakat adat yang kerap berkonflik dengan pembagian daerah secara administrative,” ujar Hilman. Hilman menamnahkan, bahwa ketika diterjemahkan menjadi pembangunan, ini menjadi tidak menarik. Dimana, mis-opportunity hilang karena kondisi hari ini. Contoh Kaimana, ada seperenam hutan mangrove Indonesia di sana. Padahal, kalau dikelola dilestari, sesuai kearifan lokal, valuenya bisa puluhan ribu USD. Sehingga, ada hubungan antara sumber daya dengan pembangunan. Namun, kepala daerah belum menyadari keterhubungan itu. Masalahnya, isu-isu ini tidak pernah masuk dalam konteks Pilkada. Makanya, lanjut dia, sudah seharusnya mencoba mendorong ada debat soal kebudayaan di Pilkada. sehingga hal-hal tadi bisa menjadi pembicaraan publik. “Kita nggak bisa berharap dari proses politik formal, tetapi proses dari bawah. Perspektif yang digunakan Agenda 45 ini kan masyarakat sipil. Nah, perspektif masyarakat sipil ini yang akan mengubah keadaan,” ujar Hilman. Menanggapi pemikiran itu, Prof. Riset pada Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ibnu Maryanto mengatakan bahwa nampak ada hubungan linguistik dan biodiversitas. Contoh di Jawa, ada semacam garis imajiner linguistik dengan biodiversitas. Ada beberapa jenis burung hanya di daerah tertentu. Bahasa tiap daerah berbeda-beda. Di Sumatera, itu batas yang membedakan sungai-sungai. Jadi, melihat ini memang kultural-budaya. Hal serupa terjadi juga di wilayah-wilayah lain. Kita punya budaya berbeda tiap daerah, termasuk pangan. Ini harus dicreate menjadi ikon daerah. Karena konsorsium bakteri, iklim, kelembaban, temperatur beda-beda, kulinernya juga beda-beda. “Kalau kita ekspor bahan mentah memang naik. Tapi sebetulnya turun. Sekarang bahan mentah diolah, ekspornya malah turun,” ujar Ibnu. Menurut dia, seharusnya keunggulan biodiversitas itu mulai diangkat pelan-pelan. Soal padi misalnya, pada dasarnya dahulu kan padi gogo, bukan padi sawah. Namun pada perkembangnnya muncul problem perizinan soal varietas. “Padahal padi gogo bisa produksi lebih banyak dan lebih cepat. Harusnya ini diangkat,” tambahnya lagi. Hilmar Farid membenarkan hal itu. Menurut dia, salah satu kunci yang hilang dari pembicaraan soal daerah ini adalah soal kekayaan daerah. Padahal, Biodiversitas kita terkaya di dunia. Lalu, ketika hal ini dipelajari dengan benar, ini bisa jadi potensi. Hari ini kita bikin program makan gratis bersumber dari pangan lokal. Jadi, gak perlu uang banyak. Ini kita buat di Lembata, NTT, jelasnya. Masuk dalam diskusi otoda, dari perspektif masyarakat sipil, soal sumber daya dan kekayaan daerah. Organisasi masyarakat sipil harus dihidupkan kembali. Pembacaan soal potensi sumber daya dan kekayaan daerah juga dibangkitkan. Ini bisa mendorong perubahan. Pemikiran-pemikiran di atas merupakan hal penting untuk menjadi bekal bagi para calon pemimpin daerah. Sebenarnya sudah banyak perubahan yang terjadi sebagai hasil kerja gerakan masyarakat sipil, namun masih lebih banyak lagi yang mesti dikerjakan agar otonomi daerah benar-benar bermanfaat bagi warga bukan sekedar urusan pemimpin daerah, pungkasnya. Keterangan foto: mantan Menkopohukam Mahfud MD bersama Pakar yang juga Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilman Farid saat diskusi bertajuk Memperkuat Otonomi Daerah Melalui Pilkada di kawasan Tebet, Jakarta.

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fransiskus Adhiyuda

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar yang juga Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilman Farid mengingatkan bahwa saat ini, Indonesia mewarisi sistim administrasi kolonial yang tumpang-tindih dengan pemekaran. 

Dimana, konsep wilayah administratif ini kadang tidak sejalan dengan kultural. Dasar pembagian daerah administratif itu tidak selalu sejalan kultural. 

Papua, misalnya, dasar pembagian administrasinya dari zaman Belanda dan dasarnya itu ekspresi seni. Ini yang membuat ikatan sosial di daerah itu lemah karena ikatan kulturalnya lemah.

Hal itu disampaikan Hilman saat diskusi kelompok terarah (FGD) yang diselenggarakan oleh Agenda 45, di Kawasan Tebet, Jakarta Selatan.

Dalam hajatan bertopik 'Memperkuat Otonomi Daerah Melalui Pilkada' itu, mantan Menkopohukam Mahfud MD tampil menjadi keynote speaker.

“Jadi, memperkuat Otoda itu apa? memperkuat sistem jangan seperti tadi, memperkuat yang urusan privat. Ini problem yang fundamental yang harus dibahas. Misalnya soal masyarakat adat yang kerap berkonflik dengan pembagian daerah secara administrative,” ujar Hilman.

Hilman menamnahkan, bahwa ketika diterjemahkan menjadi pembangunan, ini menjadi tidak menarik. Dimana, mis-opportunity hilang karena kondisi hari ini. Contoh Kaimana, ada seperenam hutan mangrove Indonesia di sana. 

Padahal, kalau dikelola dilestari, sesuai kearifan lokal, valuenya bisa puluhan ribu USD. 

Sehingga, ada hubungan antara sumber daya dengan pembangunan. Namun, kepala daerah belum menyadari keterhubungan itu. 

Masalahnya, isu-isu ini tidak pernah masuk dalam konteks Pilkada. Makanya, lanjut dia, sudah seharusnya mencoba mendorong ada debat soal kebudayaan di Pilkada. sehingga hal-hal tadi bisa menjadi pembicaraan publik.

“Kita nggak bisa berharap dari proses politik formal, tetapi proses dari bawah. Perspektif yang digunakan Agenda 45 ini kan masyarakat sipil. Nah, perspektif masyarakat sipil ini yang akan mengubah keadaan,” ujar Hilman.

Menanggapi pemikiran itu, Prof. Riset pada Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ibnu Maryanto mengatakan bahwa nampak ada hubungan linguistik dan biodiversitas.

Contoh di Jawa, ada semacam garis imajiner linguistik dengan biodiversitas. Ada beberapa jenis burung hanya di daerah tertentu. Bahasa tiap daerah berbeda-beda. 

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini