TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, memastikan pengesahan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) batal, Kamis (22/8/2024).
Merespons hal ini, guru besar Kebijakan Publik dari Universitas Hasanuddin (Unhas), Muhammad Nur Sadik, mengingatkan DPR selaku wakil rakyat untuk tak bermain-main dengan masalah implementasi demokrasi.
Menurutnya, suatu negara tidak menjadi negara maju karena tak mengimplementasikan demokrasi secara benar.
"Ke depannya seharusnya DPR itu sebagai wakil rakyat jangan bermain-mainlah, (jangan) coba bermain-main lagi dengan masalah implementasi demokrasi itu."
"Ini adalah tantangan buat negara kita kenapa enggak maju-maju karena kita tidak mengimplementasikan demokrasi secara benar," kata Nur Sadik dalam acara Kompas Malam di Kompas TV, Kamis.
Ia lantas menegaskan bahwa negara maju ditentukan dari aturannya. Jika aturannya baik, negara itu akan maju.
"Suatu negara yang yang maju adalah ditentukan dari aturannya. Kalau aturannya itu benar dan baik, yakin dan pasti bahwa negara itu akan maju juga, tapi kalau aturannya itu menyesuaikan dengan keinginan sekelompok masyarakat atau elite itu berbahaya karena pemegang saham kekuasaan itu adalah rakyat. Rakyat-lah yang berkuasa," tuturnya.
Ia membeberkan bahwa batalnya revisi UU Pilkada akibat proses pembuatan kebijakan publik yang tidak benar.
"Jadi, akibatnya adalah ada penolakan dari masyarakat. Tidak melalui proses pembuatan kebijakan publik yang benar," ungkapnya.
Muhammad Nur Sadik menjelaskan bahwa proses pembuatan kebijakan publik harus melalui beberapa tahapan.
Namun, tahapan itu kemudian ada yang dilewati DPR RI sehingga muncul penolakan dari masyarakat.
Baca juga: Kondisi Mahasiswa yang Ditangkap saat Aksi Kawal Putusan MK, Adian PDIP: Bibir Pecah, Hidung Patah
"Kita harus melakukan yang pertama identifikasi masalahnya. Kemudian yang kedua adalah agenda setting-nya. Ketiga formulasinya, legitimasinya, implementasi dan baru sampai ke evaluasi."
"Ini langsung implementasi. Tidak ada identifikasi, tidak ada agenda setting, enggak ada formulanya seperti apa. Apalagi legitimasi langsung implementasi, akibatnya adalah ada penolakan dari masyarakat. Ini nyata bahwa ini kebijakan ini enggak benar proses pembuatannya," ujarnya.
Sebagaimana diketahui, terjadi berbagai aksi unjuk rasa di Indonesia untuk menuntut supaya DPR RI tak menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai ambang batas pencalonan kepala daerah.
Meski begitu, DPR memastikan pembatalan pengesahan RUU Pilkada tak ada kaitannya dengan aksi penolakan yang terjadi.
"Kan waktu saya batalkan pagi belum ada demo. Kan kita batalin pagi tadi itu belum ada demo," kata Dasco saat dikonfirmasi, Kamis.
"Cuman karena memang enggak kuorum makanya kita batalin. Kan kita ini taat azas dan aturan," imbuhnya.
Politikus Partai Gerindra itu menilai pembatalan untuk mengesahkan RUU Pilkada lantaran anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna tidak memenuhi kuorum.
"Jadi karena tadi enggak kuorum gua batalin. Mau bikin paripurna lagi, itu kan harus ada Rapim harus ada Bamus."
"Dan harus memenuhi ketentuan Rapur tuh kalau enggak Selasa, ya, Kamis. Dan itu masih pagi loh gua batalin belum ada demo, bukan karena eskalasi," terangnya.
(Tribunnews.com/Deni/Igman)