TRIBUNNEWS.COM - Pakar komunikasi politik Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS), Nyarwi Ahmad, turut mengomentari soal pencalonan Pramono Anung di Pilkada Jakarta 2024 oleh PDI-Perjuangan.
Nyarwi menilai PDIP terkesan kurang konsisten terhadap pencalonan tersebut.
Pasalnya, Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri akhir-akhir ini selalu menyindir sosok penguasa dalam pemerintahan yang diduga Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Namun, yang terjadi PDIP justru mengusung Pramono yang saat ini cukup dekat dengan Jokowi.
Tentu, Nyarwi menilai hal ini menjadi kontras dengan realitas yang terjadi saat ini.
"Kalau PDIP calonkan Pramono dengan statusnya sebagai anak buah Jokowi, itu artinya dalam konteks Pilkada Jakarta PDIP masih dalam bayang-bayang kuasa Jokowi atau dengan kata lain, masih ada pengaruh, tangan kuasa, dan daya tarik Jokowi di PDIP, khususnya dalam Pilkada Jakarta."
"(Jadi) Pidato Bu Mega soal melawan kezaliman jadi seperti tidak ada artinya ya (karena mengusung Pramono). Terkesan kurang konsisten jadinya," tutur Nyarwi dikutip dari Kompas.com, Rabu.
Padahal, PDIP memiliki kader yang elektabilitasnya jauh unggul dibandingkan Pramono.
Pramono jadi Jalan Tengah
Pasangan Pramono-Rano Karno disebut-sebut menjadi jalan tengah dari dua kutub yang berbeda, yakni Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Baca juga: Senyum Menunduk Jokowi Saat Ditanya PDIP Pilih Pramono Anung di Pilkada Jakarta 2024
Hal itu diungkapkan Ketua DPP PDIP Deddy Sitorus saat menjelaskan alasan partainya mengusung pasangan Pramono Anung-Rano Karno sebagai bakal calon gubernur dan wakil gubernur Jakarta.
Anies, kata Deddy, merepresentasikan basis masyarakat Islamis-religius.
Sementara Ahok mewakili kelompok masyarakat yang ingin perbaikan dalam sistem birokrasi.
Deddy mengakui PDIP memang hendak mempertimbangkan mengusung Anies di Pilkada Jakarta dengan beberapa alasan.
Terutama PDIP ingin menyelesaikan persoalan-persoalan polarisasi akibat Pilkada Jakarta 2017.