TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nasib Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2015 DKI Jakarta ditolak DPRD DKI Jakarta.
Dengan demikian Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI harus menggunakan anggaran tahun sebelumnya yang paling tinggi dalam hal ini APBD 2014 sebesar Rp 72,9 triliun.
Meskipun kembali ke anggaran tahun sebelumnya Gubernur DKI Jakarta tetap harus konsiten menerapkan sistem e-budgeting dalam penganggarannya.
Hal tersebut penting agar tidak ada lagi tindakan untuk menyiasati anggaran.
"Ahok haruslah mempertahankan (e-budgeting). Karena dengan e-budgeting memudahkan pengawasan dan menghindari tatap muka dalam bertransaksi," ungkap Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio kepada wartawan, Senin (23/3/2015).
Selain itu dalam rangka menjaga anggaran supaya penggunaannya sesuai dengan peruntukannya, penegak hukum harus tetap dilibatkan seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, dan kejaksaan. Meskipun akan berdampak terhadap kineja PNS DKI.
"Bisa saja diawasi KPK, Polisi ataupun kejaksaan untuk pencegahan. Tapi nanti para Pimpro (Pimpinan Proyek) atau eselon II tidak mau kerja karena takut yang mengakibatkan penyerapan rendah sehingga Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (Silpa) tinggi," tuturnya.
Dalam pengawasan penggunaan anggaran pun, dikatakan Agus, Ahok selaku gubernur tidak perlu meminta secara khusus kepada Indonesia Coruption Watch (ICW).
Alasannya, karena pengawasan sudah dilakukan dengan melibatkan masyarakat.
"Pengawasan ICW sama dengan publik (jadi) bukan hal baru," ucapnya.