Kali ini ia biasanya dua kali naik turun bukit sampah. Syukur-syukur kalau ketemu barang berharga yang ikut terbuang.
"Tadi saya dapat handphone cuma sudah mati. Pernah juga dapat uang tapi enggak banyak. Paling koin atau ribuan, itu juga jarang. Ada juga dapat emas, tapi emas yang bikin lari," ujar Man, seraya tertawa.
Man mengakui tubuhnya semakin letih untuk memulung. Maklum, selain bukit sampah yang kian menjulang tinggi, pemulung di dalam Bantargebang pun semakin banyak.
Pulungan pun yang punya nilai jual seperti botol plastik dan lain-lain jadi semakin sulit dicari.
"Dulu pertama kali ini buka masih dua orang saya sama teman. Tapi sekarang sudah ratusan orang kali," ujar bapak berkulit cokelat gelap itu.
Namun, ia tetap berusaha agar asap dapur tetap mengepul. Dalam tempo 10 hari, Man akan menukar hasil pulungannya dengan rupiah kepada penadah.
Tak pernah makan enak
Biasanya, ia dapat Rp 200.000-300.000 untuk lebih dari lima belas karung hasil memulung yang dijualnya. Sebulan ia bisa memperoleh Rp 600.000 lebih atau paling tidak di bawah Rp 1.000.000.
Bagi Man uang ini pun kadang tak cukup untuk makan. Padahal ia tulang punggung keluarga.
Istri Man, ER mengaku, jarang keluarga ini makan enak. Saking susahnya, keluarga ini pun mengaku sungkan menawari tamu suguhan, bahkan sekedar air minum.
"Belanja saja kita di warung kecil, paling tahu sama tempe. Kalau makan ayam sama ikan kalau ada rejeki saja. Apalagi beras sekarang mahal," ujar ER.
Air minum pun, lanjut ER, mesti beli air kemasan. Meskipun ia dan para tetangga di gubuk yang bersebelahan memiliki satu sumur galian. Namun, airnya hanya untuk keperluam MCK tidak dapat dikonsumsi.
Kisruh sampah
Bagi Man, sampah adalah harta karunnya. Atau pemulung setempat menyebutnya "bulog". Yang dimaksud tentu bukan Badan Urusan Logistik milik pemerintah.