WARTA KOTA/Feryanto Hadi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Seperti biasanya, pada siang hari aktivitas para kuli angkut di Pasar Induk Beras Cipinang begitu padat.
Belum lama beristirahat dan menyeka keringat, para kuli angkut harus kembali bekerja ketika truk-truk besar pengangkut beras dari berbagai daerah di Jawa kembali datang.
Di sudut lain, puluhan perempuan mulai berkumpul. Mereka terus memandangi aktivitas para kuli angkut, sambil menantikan proses pengakutan beras dari bak truk ke dalam gudang-gudang beras di sana selesai.
Perempuan-perempuan itu adalah pengumpul beras yang tercecer.
Mereka menggantungkan hidupnya dari butir-butir beras para juragan yang jatuh ke tanah.
Sapu lidi dan lempengan besi sudah siap di tangan. Begitu proses pengangkutan selesai, mereka membagi diri menjadi beberapa kelompok, menuju ke beberapa tempat di mana banyak beras tercecer.
Di tengah terik menyengat, dengan gigih mereka menyapu beras-beras yang sudah bercampur dengan debu.
Beras yang kotor itu lalu mereka bersihkan, dipisahkan dengan debu.
Setelah bersih, mereka masukkan beras ke dalam kantong plastik yang sebelumnya mereka selipkan di bagian tubuh mereka.
Di tengah kesibukan perempuan pemungut beras, seorang perempuan tua berjalan sempoyongan ke sebuah tempat. Tampaknya itu sudah begitu kelelahan.
Keringat mengalir melintasi kerut wajahnya. Ia kemudian duduk di bawah sebuah terpal, di sudut pasar.
Dia mengaku bernama Minah. Sudah sepuluh tahun dia mencari uang dengan memunguti beras yang tercecer di Pasar Induk Cipinang.
Di tengah persaingan para pengumpul beras yang ketat, kondisi Minah yang makin melemah akibat usia, membuatnya kini hanya bisa mengumpulkan beras secukupnya.