Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Koordinator Bantuan Hukum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Julius Ibrani melihat banyak kejanggalan dalam proses hukum kasus dugaan penistaan agama yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Bahkan menurut dia, jaksa akan sulit membuktikan kesalahan Ahok di pengadilan nanti dengan merujuk pada pasal yang disangkakan kepada Ahok.
Seperti diketahui, Kejaksaan Agung menyatakan berkas perkara kasus Ahok telah lengkap alias P21.
Pekan depan, kasus Ahok akan disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Julius menjelaskan, pasal 156a yang disangkakan kepada Ahok tidak tepat.
Menurut dia, hal itu bisa melanggar hak asasi manusia.
Alasannya dalam konteks Hak Asasi Manusia Pasal 18 Kovenan Hak Sipil dan Politik yang diratifikasi Indonesia lewat UU Nomor 12 Tahun 2005, telah menjamin kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama.
"Kebebasan ini dengan batasan tidak boleh mengganggu hak orang lain untuk berpikir, berkeyakinan, dan beragama," kata Julius saat dihubungi wartawan Selasa (6/12/2016).
Menurut Julius, perlindungan diberikan kepada orang sebagai subjek, bukan kepada pikiran, keyakinan, atau agama sebagai objek.
Sedangkan yang diatur pasal 156a KUHP ini adalah perlindungan terhadap obyek.
"Tidak heran, karena historis pasal ini adalah pasal teror dari pemerintah kolonial Belanda terhadap kelompok agama yang dibangun pribumi di masa itu," kata pria yang akrab disapa Ijul ini.
Dia menambahkan, secara doktrin hukum pidana, haruslah dibuktikan 2 hal, yakni mens rea atau niat, dan actus reus atau perbuatan.
Terkait mens rea, mengunggah video tentang kegiatan gubernur ke Youtube tidak ditemukan niat jahat.
"Karena akun resmi Gubernur tersebut dinyatakan sebagai bagian dari transparansi kerja pejabat publik supaya bisa ditonton publik," kata dia.
Julius memprediksi, sulit untuk menjerat Ahok jika Jaksa menggunakan pasal tersebut.