Batas toleransi timbel di dalam darah manusia tidak boleh lebih dari 5 mikrogram/desiliter. Namun, hasil penelitian terhadap masyarakat yang bermukim di sekitar area peleburan aki bekas di daerah Parung Panjang bisa mencapai 23 mikrogram/desiliter atau lebih dari empat kali lipat dari ambang batas. Sementara di daerah Curug malah lebih parah lagi.
Penelitian terhadap anak-anak usia sekolah yang bermukim di area peleburan aki bekas mencapai 30 mikrogram/desiliter. Efek jangka panjang yang ditimbulkan akibat udara yang telah tercemar timbel di antaranya gangguan pada paru-paru, sistem syaraf, otak, serta menyebabkan kanker.
Meski terkesan agak terlambat, namun Wiku tetap mengapresiasi upaya yang dilakukan. Ia pun mengaku telah diundang rapat oleh Dewan Ketahanan Nasional (Wantanas) yang berencana membentuk tim pembenahan pencemaran timbel. Tim ini dibentuk merespons merebaknya pencemaran timbel di udara.
Selain Wiku Adisasmito yang mewakili FKM Universitas Indonesia, Sekretaris Jenderal Watannas Letnan Jenderal Doni Monardo juga mengundang Direktur Pengendalian Pencemaran Udara Kemerintah Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dasrul Chaniago, Komandan Komando Resor Militer (Danrem) 061/Wijaya Krama Kolonel (Kav) Agustinus Purboyo, serta Komandan Distrik Militer (Dandim) 0621/Kabupaten Bogor Letnan Kolonel (Inf) Harry Eko Sutrisno.
”Pencemaran yang ditimbulkan akibat peleburan aki bekas ini adalah masalah serius sehingga butuh langkah serius juga dari pemerintah. Tidak hanya menindak pelaku peleburan aki bekas, namun juga mengatur industri yang menjadi produsen aki agar bertanggungjawab terhadap produk yang dihasilkan.” tutur Wiku.
Pengaturan tanggungjawab industri produsen aki ini dapat dilakukan oleh Kementerian Perindustrian, terlebih jika mengingat hingga 2016 populasi kendaraan bermotor di dalam negeri sudah mencapai 120 juta unit dengan usia aki berkisar 3-5 tahun.
Lanjut Wiku, selama bertahun-tahun penanganan masalah pencemaran timbel ini memang seperti jalan di tempat. Meskipun dari kalangan akademisi sudah susah payah melakukan penelitian-penelitian sebagai bahan rujukan untuk dilakukan tindakan oleh aparat yang berwenang, tapi hal tersebut hanya diletakkan di atas meja. Para pengambil kebijakan cenderung bergerak lambat dan kurang peduli.
“Indikator fisik lingkungan dari udara, air, tanah saja kita sudah tahu lama tentang pencemaran ini. Jadi, sangat salah kalau pemerintah tergerak menegakkan hukum lingkungan dengan tegas setelah menunggu indikator polutan pada manusia. Mari kita lihat langkah konkret pemerintah, karena hal ini jika dibiarkan dapat berdampak negatif bagi kesehatan masyarakat, seperti penyakit ginjal dan stunting. Terutama demi melindungi anak-anak muda tunas bangsa!” kata Wiku yang juga merupakan koordinator INDOHUN (Indonesia One Health University Network).
Masalah pencemaran lingkungan oleh limbah B3 sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Limbah B3, Peraturan Pemerintah No. 101 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Limbah B3, serta Peraturan Menteri LHK Nomor 02 Tahun 2008 Tentang Pemanfaatan Limbah B3.
Berdasarkan peraturan yang berlaku, pelaku peleburan aki bekas seharusnya dijerat sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan, pembekuan izin lingkungan, dan pencabutan izin lingkungan.
Selain itu, seharusnya ada tanggungjawab dari pelaku pencemaran untuk perbaikan lingkungan terutama yang berdampak bagi kesehatan masyarakat.