Salah satunya adalah sistem lelang jabatan di mana setiap PNS bisa menduduki posisi apapun yang diinginkan jika mampu melewati tes lelang tersebut.
Transparansi dalam mengangkat pejabat ini jauh berbeda dengan era-era sebelumnya yang mengutamakan kedekatan atau loyalitas kepada pimpinan, bukan prestasi atau kemampuan.
Melalui lelang jabatan ini, Edy Junaedi mendapatkan posisi Kepala Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP).
Badan ini dibentuk untuk mempermudah akses masyarakat terhadap pelayanan perizinan dan non perizinan pemerintah DKI Jakarta. Di Jakarta, BPTSP berfungsi sebagai calo resmi sebagaimana yang diinginkan Ahok.
Edy merupakan eselon II termuda saat ini. Usianya masih 39 tahun, tetapi sudah menjadi doktor ilmu pemerintahan dari Universitas Padjajaran.
PTSP memang tempat yang tepat untuk Edy. Berbekal pengalaman sebagai camat di Kepulauan Seribu selama enam tahun, Edy sudah terbiasa dekat dengan masyarakat.
Ia pernah berada di bawah dan mengerti apa saja yang menjadi kebutuhan masyarakat, khususnya dalam hal pelayanan publik.
Ahok juga mengakui bahwa Edy adalah satu-satunya pejabat yang lolos tes psikotes.
"Ternyata, dari hasil psikotes yang dilakukan, dari 30 orang tersebut, yang lulus hanya satu orang, yaitu pak Edy Junaedi (Kepala Badan PTSP)," ujar Ahok sebagaimana dikutip beritsatu.com (03/07/2015).
Edy dianggap memiliki keberanian dalam membenahi birokrasi, termasuk memecat bawahannya yang masih saja memungut uang demi mempercepat proses perizinan.
Inovatif
Sebelum berada di PTSP, saya sudah mendengar banyak hal mengenai sosok Edy. Salah satunya dari teman saya, Sam Soegi, seorang relawan pendukung Ahok. Ia menceritakan bahwa Kepala PTSP masih muda dan sangat inovatif.
Ya, ya, ya, mungkin ia muda, mungkin inovatif. Tapi bukankah banyak orang kreatif yang mampu berinovasi, namun tidak berani mendobrak kebiasaan lama yang menyulitkan proses inovasi itu?
Saya sendiri merasa kesal ketika sedang memetakan masalah yang ada. Betapa banyaknya proses yang memperlambat izin bangunan usaha.
IMB harus memakan waktu hingga 2 bulan, belum lagi ditambah Sertifikasi Laik Fungsi (SLF) yang juga memakan waktu bulanan.
Tak heran jika Indonesia berada di peringkat 109 dari 189 negara di survey tingkat kemudahan berusaha versi World Bank.
Namun rasa kesal itu hanya bertahan sesaat. Edy masuk ke dalam ruangan tempat saya dan tim memetakan masalah.
Hanya dalam hitungan menit, proses izin yang berbelit itu berubah menjadi mudah. IMB dan SLF yang biasanya memakan waktu bulanan, berubah menjadi 14 hari untuk bangunan dua lantai.
Tentu di sana saya merasa kaget. Hal ini mematahkan stigma bahwa semua birokrat lama dalam mengambil keputusan, sekaligus membenarkan omongan teman saya Sam Soegi. Ya, Edy memang inovatif.
Tidak perlu waktu lama bagi Edy untuk menentukan bahwa bangunan dua lantai tidak memerlukan aturan berbelit yang diterapkan pada bangunan di atas dua lantai.
Logika Edy ini masuk akal mengingat banyak perusahaan di Jakarta yang memilih mendirikan ruko. Ini bukti nyata komitmen Jakarta dalam memudahkan pengusaha.
Hal menarik lainnya yang membuat saya dan teman-teman kagum dengan Edy adalah ketika kami meeting dengan World Bank.
Dalam meeting tersebut, salah satu divisi di PTSP menunjukkan kepada Edy mengenai panduan izin lingkungan (UKL/UPL) yang dapat diisi oleh pemohon.
Tak tanggung-tanggung, dokumen yang harus diisi oleh pemohon sebanyak 90 lembar. Lucunya, dokumen tersebut disertai pendahuluan, pembahasan dan penutupan layaknya mahasiswa yang sedang skripsi.
"Pengusaha mana yang mau tau soal ginian. Pasti bayar konsultan," ujar Edy ketika melihat dokumen yang sangat banyak.
Menurut Edy, sangat disayangkan jika dokumen yang harus diisi sesulit ini. Izin lingkungan yang harusnya gratis menjadi mahal karena pemohon harus membayar konsultan hingga 64 juta.
Ya benar saja, pengusaha mana yang mau menulis 90 lembar dokumen mengenai kaitan bangunan usahanya dengan lingkungan?
Lagi-lagi dalam hitungan menit, keputusan diambil. Dokumen 90 lembar itu pun akan diubah menjadi 1-5 lembar.
Bahkan sebentar lagi UKL/UPL akan diganti menjadi surat pernyataan pengelolaan lingkungan yang bisa selesai dalam waktu 1 jam. Hal ini menambah kekaguman saya dan tim pada sosok PNS lulusan IPDN ini.
Berani
Baiklah, saya kini yakin bahwa Edy memang inovatif dan pengambil keputusan yang cepat. Tapi dalam benak saya masih ada pertanyaan, apakah benar Edy berani menghukum atau memecat bawahannya? Jujur ketika itu saya masih ragu.
Di hari Selasa pagi (02/02), saya membaca berita bahwa Ahok siap memecat pegawai AJIB (Antar Jemput Izin Bermotor) jika terbukti mengambil pungutan liar.
AJIB merupakan inovasi PTSP di bawah kepemimpinan Edy yang menginginkan warga untuk tidak perlu keluar rumah dalam mengurus izin, melainkan izin tersebut dijemput dan diurus oleh pegawai PTSP.
Setelah membaca berita tersebut, saya langsung menyebarkan ke group whatsapp tim saya. Salah satu staf Gubernur yang dulu juga menangani PTSP, Ayu Kartika Dewi, mengatakan bahwa Edy pun akan memecat pegawai yang berani mengambil pungutan liar.
"Jangankan Pak Ahok, gw yakin Pak Edy juga akan pecat. Pak Edy tu berani dan taat konstitusi loh," ujar Ayu di group whatsapp tersebut.
Ayu langsung menceritakan bahwa Edy pernah memecat bawahannya yang melanggar aturan batas maksimal ketidakhadiran.
Bawahannya tersebut merupakan teman satu kamar Edy ketika masih di IPDN. Saya pun kaget. Wah, jadi sosok Edy Junaedi seberani ini?
Pada hari Selasa tersebut, saya dan tim ikut bersama Edy untuk melakukan sidak ke sejumlah kelurahan.
Sidak ini dilakukan untuk memastikan bahwa PTSP di tingkat kelurahan sudah berfungsi dengan baik.
Benar saja, omongan Ayu di pagi hari langsung terbukti. Dari empat kelurahan yang kami datangi, dua kelurahan membuat Edy marah besar hingga mengancam memecat dan membuang para pegawai tersebut ke Kepulauan Seribu.
Bukan hanya sekedar memecat, Edy pun memberi peringatan bahwa PTSP kelurahan yang tidak mampu menaikkan pemohon hingga 50 orang per hari akan ditutup.
"Kamu mau kehilangan jabatan kamu sebagai Kasatlak?," tanya Edy kepada kepala PTSP kelurahan tersebut. Semua pegawai pun langsung berkeringat dingin. Jika mereka tidak mau berubah, mereka harus siap di-pulau-kan.
"Kalian harus jemput bola. Tanyakan para pedagang sekitar, udah punya SIUP belum? Jangan nunggu terus," pesan Edy kepada PTSP tingkat kelurahan.
Edy benar, PTSP tingkat kelurahan memang harus menjemput bola. Jika tidak, dari mana pedagang tahu bahwa mengurus SIUP di Jakarta kini mudah dan cepat? Hal ini penting agar para pedagang juga terdata dan tidak dianggap sebagai pedagang illegal.
Salah satu kelurahan di Jakarta Barat juga sempat mengundang kemarahan Edy. Hal ini karena petugas tidak melayani warga dengan baik.
Dimulai dari mesin antrian yang rusak, informasi yang kurang jelas, hingga ketidakramahan petugas. Tanpa waktu lama, Edy memanggil para petugas kelurahan ke kantornya dan kalian tebak saja apa yang selanjutnya terjadi.
Survey kepuasan masyarakat (SKM) selalu menjadi hal terpenting bagi Edy. Jika ada PTSP kota/kecamatan/kelurahan yang tidak memiliki SKM, maka sudah dapat dipastikan PTSP tersebut kena semprot.
Hari Jumat (12/02), saya dan tim pergi ke salah satu kantor PTSP tingkat kota. Kali ini kami pergi tanpa Edy. Di sana kami kaget dengan sistem pelayanan yang kacau.
Memang pelayanan izin tetap cepat, tetapi warga tidak pernah diminta mengisi survey kepuasan. Selain itu, kantor tersebut tidak mampu memberi informasi yang akurat kepada warga. Lebih-lebih lagi, petugas di front office tidak begitu ramah dengan warga.
Ketika makan siang, kami memaparkan masalah yang kami temukan di PTSP kota tersebut. "Sebenarnya masyarakat puas dengan pelayanannya, Pak. Tapi sayang survey kepuasannya tidak diisi," kata saya kepada Edy.
"Masyarakat biasa urus izin susah, jadi sekarang mereka merasa enak. Bagi masyarakat nilai 6 kan sudah bagus, tapi kita maunya nilai 10 kan bukan 6," ujar Edy.
Pada momen ini, saya dan tim saling menatap mata mengakui kehebatan cara berpikir Edy. Ia adalah tipe pemimpin yang menginginkan yang terbaik bagi warga, bukan hanya lebih baik dari yang dulu.
Ya, kami sudah mulai terbiasa dengan cara kerja Edy. Segala masalah langsung ditindaklanjuti. Kepala kantor PTSP tersebut pun dipanggil sore harinya.
Edy mengaku sudah kesal dengan kepala kantor ini karena dianggap tidak punya kemauan untuk berubah. "Kita lihat tanggal mainnya," kata Edy kepada kami.
Seseorang pernah berkata bahwa pemimpin yang baik selalu melahirkan pemimpin-pemimpin baru. Bagi saya, Ahok adalah pemimpin baik.
Hanya di era Ahok, muncul sosok birokrat seperti Edy. Jujur saja, saya tidak pernah membayangkan ada seorang birokrat yang bisa tegas, berani, dan inovatif seperti Edy.
Di mata saya, Ahok telah berhasil mematahkan stigma bahwa PNS selalu bodoh, malas, dan korup. Terima kasih Pak Ahok, lanjutkan reformasi birokrasi di Jakarta!
*Tsamara Amany (Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina | Staf Magang Gubernur DKI Periode Januari-April 2016 )
(Tribunnews.com/Daryono) (WartaKota/Achmad Subechi)