"Nanti bakalan diganti pohon tabebuya," ucap Mila, saat dihubungi TribunJakarta.com, Kamis (7/11/2019).
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, mengatakan pemilihan pohon tabebuya lantaran mengikuti tren saja.
"Pemilihan pohon tabebuya, lebih karena mengikuti tren saja, serta ketersediaan di pasaran," ujar Nirwono, sapaannya, saat dihubungi TribunJakarta.com, Kamis (7/11/2019).
Padahal, menurut Nirwono, pohon angsana dan beringin merupakan jenis pohon besar.
"Pohon besar seperti beringin bisa ratusan tahun usianya, sementara angsana bisa lebih dari 50-75 tahun. Tergantung perawatan dan pemeliharaan pohonnya," ujar Nirwono.
Pohon tabebuya, menurutnya, merupakan jenis pohon kecil.
Artinya, kata Nirwono, fungsi ekologis antara pohon angsana-beringin dengan tabebuya jelas berbeda.
"Bandingkan dengan tabebuya (kategori pohon kecil) sedangkan beringin dan angsana (pohon besar), tentu memiliki fungsi ekologis lebih baik ketimbang tabebuya," ucapnya.
"Misal, daya serap gas polutan, keteduhan, dan iklim mikro, produksi oksigen (daunnya lebih lebat dan tajuk lebih lebar), serta berusia lama ratusan tahun," dia menambahkan.
• Jadi Pedagang Asongan di Jakarta Sejak Tahun 1970, Ahmad Miliki Sawah dan Tanah di Kampung
Karenanya, Nirwono menyebut Pemprov DKI Jakarta tak serius merawat pohon-pohon. Terkhusus Dinas Kehutanan Pertanaman DKI.
"Dinas Pertamanan dan Kehutanan tidak serius merawat pohon. Harusnya pohon masih bisa diselamatkan atau dirawat (kalau sakit, keropos, dan lain-lain)," kata Nirwono.
Karenanya, lanjut dia, semakin banyak pohon-pohon besar, maka daya serap air untuk disimpan ke dalam tanah akan lebih baik.
"Kalau semakin banyak pohon-pohon besar semakin bagus untuk menahan angin. Sekaligus membantu mengurangi air yang terbuang," katanya.
"Belum lagi, fungsi sebagai habitat satwa liar, penanda kawasan, dan lain-lain," Nirwono menambahkan.