"Ini yang menjadi dasar utama kita. Ini menjadi sebuah kebutuhan hukum di mana untuk lapangan kerja bisa diciptakan ketika kita juga bisa menarik investasi baik itu di dalam negeri maupun di luar negeri," katanya.
Menurut Firman, setiap tahunnya terdapat 2.9 juta angkatan kerja baru. Kemudian juga terdapat 3.5 juta orang kehilangan pekerjaannya. Belum lagi jumlah pengangguran yang mencapai Rp 6.9 juta orang.
"Kalau tidak ada investasi bagaimana bisa menciptakan lapangan kerja. Indonesia penduduknya jumlahnya besar dan negara tidak mampu menyediakan lapangan kerja. Ya rakyatnya mau kerja di mana?. Logika berpikirnya kita bawa ke situ," ujarnya.
Adanya UU Cipta Kerja tersebut juga membuat perizinan semakin mudah. Pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) tidak perlu berbelit-belit dalam mengurus perizinan usaha.
Sehingga adanya UU Cipta Kerja ini adalah menderhanakan regulasi yang berbeli-belit. Itulah pemerintah hadir bagi masyarakat dengan adanya UU tersebut.
"Kita sudah over regulasi kita dan harus ada penyederhanaan. Ini terobosan yang pertama kali kita lakukan. Jadi ini memang sebuah keberanian untuk metode Omnibus Law ini," ujarnya.
Adanya UU Cipta Kerja ini bukan hanya menguntungkan pengusaha. Tetap ikut membantu meningkatkan perekonomian nasional.
"Kan begini negara bisa tegak ketika ekonominya kuat. Kalau ekonominya terpuruk maka negara ikut terpuruk. Jadi nantinya akan ada penerimaan lapangan kerja terbesar dari perusahaan yang kecil menengah dan yang besar," tuturnya.
Firman menyebut, masyarakat yang menolak UU Cipta Kerja sebenarnya tidak melihat secara utuh mengenai Omnibus Law tersebut. Sehingga langkah pemerintah memang sudah tepat adanya UU Cipta Kerja ini.
"Jangan negara itu disetir oleh kelompok-kelompok itu. Ini negara. Kalau bahasa premannya memang siapa elu," pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di Tribunjakarta.com dengan judul Kritik Pemerintah Soal Omnibus Law, Habib Rizieq: Buat UU Apa Kuitansi Warung Kopi?