Bedanya, kata Devie, dulu pekerja seks komersial full time menjalani profesinya. Saat ini di Eropa, menjadi pekerja seks hanya sampingan.
“Nah, orang itu bisa mandiri artinya ketika mereka ada kebutuhan uang mereka bisa mencari kebutuhan tambahan, jadi part time,” ungkap dia.
Menurut Devie, fenomena ini bisa terjadi juga terjadi Indonesia. Apalagi, bisnis prostitusi saat ini peluangnya semakin mudah dengan adanya teknologi.
“Di Eropa dan di sini sama ya. Media sosialnya sama, internetnya sama. Jadi tidak menutup kemungkinan (bisnis prostitusi bertahan, red),” terang dia.
Tak hanya prostitusi, perdagangan narkotika menjadikan teknologi sebagai pasarnya. Orang dengan mudah terhubung dengan pasar ini lewat teknologi tanpa diketahui identitasnya.
“Anonimitas. Teknologi memberikan fasilitas untuk mengaburkan identitas. Sehingga, pelaku prostitusi terbebas dari stigma negatif di masyarakat," kata Devie.
Masa lalu, dunia prostitusi menjadi momok masyarakat karena proses transaksikan offline. Masyarakat mudah mengenali pelakunya.
Akses internet telah memotong jalur ‘perdagangan’ orang langsung dari pelaku sendiri, ke target konsumen, tanpa perantara.
Kini, siapapun dapat memilih mempraktikkan bisnis bawah tanah ini secara mandiri, tanpa bantuan perantara.
Hal ini yang dalam konteks orang-orang Eropa, mendorong munculnya pelaku menjadikan prostitusi sebagai kerja sampingan atau paruh waktu.
"Mereka tidak menjadikan prostitusi sebagai profesi utama, tetapi, hanya sekedar tambahan pendapatan, bila dibutuhkan,” ucap Devie.