TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sesmenpora Wafid Muharam mengajukan permohonan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar diperbolehkan mengunjungi ibunya di Garut pada hari lebaran tahun ini. Namun KPK menilai Wafid salah alamat mengajukan permohonan itu kepada mereka.
Pasalnya, Wafid tak lagi berada dalam "kekuasaan" KPK. Wafid sudah "milik" pengadilan yang akan memeriksa dan mengadili perkaranya. "Kalau Wafid itu kan sudah di pengadilan (berkas perkaranya). Izinnya jadinya sama hakim," ujar Juru bicara KPK Johan Budi melalui pesan singkat, Selasa (30/8/2011).
Ihwal permohonan Wafid, KPK, kata Johan, hanya bertindak sebagai eksekutoris. "Kalau hakim menyetujui, langsung KPK melaksanakan," tuturnya.
Sebelumnya diberitakan, Wafid sangat berharap bisa mengunjungi ibu tercinta di kampung halaman, di Garut pada lebaran tahun ini.
Untuk mencapai impiannya itu, Wafid melalui Erman telah berkirim surat permohonan dua kali ke KPK. Surat pertama dilayangkannya saat menjelang bulan puasa. Surat itu berbalas tak sesuai harapan Wafid. KPK mengaku tak bisa mengabulkan permohonannya itu. “Alasannya ini petugas kami (KPK) lagi sibuk bulan puasa,” tutur Erman.
Tak menyerah, Wafid kembali melayangkan surat kedua. Surat permohonan kedua itu dilayangkannya melalui Erman Umar sekitar dua minggu lalu. Meski belum berbalas, Wafid sadar balasan surat itu besar kemungkinan akan kembali mengecewakannya. Oleh karenanya, dia ikhlas jika baru diizinkan menjenguk orang tuanya setelah lebaran ini. “Paling tidak sebelum sidang lah,” imbuh Erman.
Wafid, kata Erman, sangat bernafsu bisa mengunjungi ibunya. Pasalnya, sang ibu tak mungkin bisa mengunjunginya di rutan Cipinang Jakarta. Kondisi sang ibu yang lumpuh menyebabkan kemustahilan itu. Ibu wafid, ungkap Erman, sudah lumpuh sejak 2 tahun lalu.
“Mungkin karena tua atau stroke,” ujar Erman mengungkap alasan mengapa ibu kliennya itu bisa lumpuh.
Perempuan 80 tahun yang sudah tak bisa berbicara itu, ucap Erman, menjadi sosok yang paling berarti di hidup Wafid setelah sang ayah menghadap sang khalik. “Sebelum tersangkut masalah hukum biasanya pak Wafid rutin mengunjungi ibunya dua minggu sekali,” papar Erman.
Dengan segala pertimbangan itu, Wafid berharap KPK dapat mengabulkan permintaannya. Apalagi selama ini Wafid telah menunjukkan bahwa dia cukup kooperatif mendukung jalannya proses hukum yang dilakukan KPK.
“Ini demi kemanusiaan juga. Nggak sampai menginap (di Garut) kok. Paling beberapa jam (berkunjungnya). Habis itu sore balik lagi (ke sel tahanan). Dikawal saja oleh KPK,” katanya.
Lalu bagaimana jika KPK tak pernah mengabulkan permohonan Wafid itu? Wafid, kata Erman, akan sangat kecewa. "Kita sesalkan kalau KPK tidak izinkan, itu tidak manusiawi sekali, kita kecewa sekali," ucapnya.