TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pernyataan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD yang menyatakan bekas Kabareskrim Polri Susno Duadji harus dieksekusi jaksa kendati tidak mencantumkan jumlah masa tahanan, ditentang pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra.
Menurut Yusril, apa yang disampaikan Mahfud sudah melampaui kewenangannya sebagai hakim. Karena yang memiliki kewenangan eksekutorial adalah jaksa, bukan hakim. Yusril mengibaratkan hakim sebagai penghulu, jika ada yang ingin nikah, harus dinikahkan. Jika tidak ada, jangan memaksa orang lain nikah.
"Hakim pasif tidak boleh aktif. Hakim tidak boleh berdebat dengan publik. Jauh dari sikap seperti hakim. Hakim itu seperti penghulu. Kalau ada yang datang kawin," ujar Yusril kepada wartawan di kantornya, Jakarta Pusat, Jumat (8/3/2013).
Terkait kasus Susno, menurut Yusril, tidak dapat dieksekusi karena putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi batal demi hukum karena tidak mencantumkan perintah supaya terdakwa ditahan.
"Orang bersalah memang harus dieksekusi. Tapi kewenangan itu harus juga ditaati negara. Ini kesalahan negara dalam menjalankan hukum. Sampai kapanpun Mahfud akan saya lawan. Saya akan melakukan perlawanan secara akademik karena saya tidak berkuasa," terang Yusril.
Yusril menilai putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 197 KUHAP tidak jelas dan multitafsir, sehingga menimbulkan kontroversi baru. Mahkamah Konstitusi juga tidak konsisten dalam memutuskan perkara, terutama dalam hal menyatakan putusan berlaku surut atau tidak.
"Harapan kita MK menyelesaikan kontroversi ini, yang terjadi malah putusan MK menimbulkan kontroversi baru. Tujuan untuk memperoleh kepastian hukum tidak tercapai," tegas Yusril.
Menurut Yusril, dalam UU KUHAP tidak pernah ada disebutkan kata-kata 'perintah segera masuk'. Kata-kata tersebut sudah tidak berlaku lagi. Pasalnya, setelah diberlakukannya KUHAP, istilah 'segera masuk' itu tidak ada lagi.