TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Polres Raja Ampat Aiptu Labora Sitorus, mengaku terpaksa kabur dari tugas kedinasan, setelah Polda Papua menetapkannya sebagai tersangka kasus penimbunan BBM dan penyelundupan kayu.
Dengan meninggalkan istri dan anak, Labora terbang ke Jakarta. Di Jakarta, ia meminta 'perlindungan' dari sejumlah pengacara dari Pembela Kesatuan Tanah Air Indonesia Bersatu (Pekat-IB).
Labora mengaku meninggalkan tugas kedinasan tanpa izin dari pimpinannya. Perasaan Labora saat ini sangat tidak nyaman dengan status sebagai tersangka, karena sewaktu-waktu bisa dilakukan penahanan.
"Tentu merasa kurang nyaman. Karena itulah kami datang minta bantuan hukum dari Pekat. Sebelumnya sudah datang.
Tapi, di sana terlalu cepat melakukan tindakan seperti itu (tersangka). Makanya saya percepat datang ke sini," kata Labora di kantor DPP Pekat-IB, Harmoni, Jakarta Pusat, Sabtu (18/5/2013).
Labora mengaku belum tahu kapan akan kembali ke tempat dinas asalnya. Meski begitu, ia menyatakan siap bila sewaktu-waktu dari Polri atau Polda Papua mengerahkan personel provost untuk menjemput paksa ataupun menahan dirinya yang sudah berstatus tersangka.
Kuasa hukum Labora, Bob Hasan menilai, wajar bila kliennya kabur dari tugas.
"Dalam kondisi seperti itu adalah bagaimana agar bisa menyelamatkan diri. Tapi, nanti beliau tetap kembali, dan kami akan hadirkan beliau," tutur Bob.
Menurut Bob, pihak provost atau divisi kepolisian lainnya harus 'melewati' tim kuasa hukum, bila ingin menjemput paksa Labora.
"Akan berhadapan dengan kuasa hukumnya," tegas Bob.
Diberitakan sebelumnya, Polda Papua telah menetapkan Labora sebagai tersangka kasus penimbunan BBM di Sorong dengan nama perusahaan PT Seno Adi Wijaya, dan penyelundupan kayu dengan perusahaan PT Rotua. Kini, Polri juga menjajaki kerja sama dengan PPATK, untuk mengusut dugaan pencucian uang yang dilakukan Labora.
Meski sudah diselidiki Polda Papua sejak Maret 2013, kasus ini baru mencuat ke publik setelah Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan Aiptu Labora melakukan transaksi keuangan mencurigakan selama lima tahun terakhir, yang mencapai Rp 1,5 triliun. (*)