Laporan Wartawan Tribunnews.com, Edwin Firdaus
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) menolak keberatan Akil Mochtar terkait kasus dugaan pengurusan sengketa Pilkadah di Mahkamah Kotitusi (MK), gratifikasi, dan pencucian uang.
Pasalnya, seluruh isi eksepsi yang dipaparkan Akil, maupun tim penasihat hukumnya sudah masuk pokok materi yang perlu dibuktikan dalam persidangan hingaa putusan akhir.
Hal itu diungkapkan Ketua majelis Hakim Suwidja saat membacakan putusan sela atas dakwaan Jaksa KPK, eksepsi kubu Akil Mochtar, serta tanggapan Jaksa di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (13/3/2014) sore.
"Eksepsi terdakwa dan tim penasihat hukum tidak dapat diterima," kata hakim Suwidja.
Menurut Majelis hakim, persidangan harus dilanjutkan dengan agenda pembuktian dan memerintahkan Jaksa KPK untuk memanggil saksi-saksi.
Adapun Akil tampak sayu wajahnya ketika mendengar putusan sela yang dibacakan majelis hakim. Sebelum sidang dimulai Akil sempat mengaku sedang dalam keadaan kurang sehat, namun masih bisa menjalani persidangan tersebut.
Dalam pengambilan putusan sela ini, majelis hakim tidak bulat satu suara. Melainkan adanya desenting opinion, dari anggota majelis hakim Sofialdi.
Pada intinya Hakim Sofialdi menyatakan bahwa KPK tidak berwenang dalam menggunakan undang-undang pencuian uang terhadap Akil Mochtar. Menurutnya, kewenangan itu sesuai undang-undang hanya dimiliki Kejaksaan.
Sebelumnya, Jaksa KPK melayangkan surat tanggapan atas eksepsi Akil Mochtar dan tim penasihat hukumnya. Pada pokokya tim Jaksa membantah pembelaan yang disampaikan terdakwa dugaan suap, gratifikasi dan pencucian uang Akil Mochtar.
Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (6/3/2014), Jaksa menegaskan bahwa pembelaan Akil harus ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima.
Karena itu, tegas Jaksa meminta kepada Majelis Hakim yang diketaui oleh Suwidya menyatakan surat dakwaan nomor DAK-04/24/02/2014 tanggal 10 Februari 2014 telah memenuhi syarat formal dan materiil sebagaimana ditentukan dalam pasal 143 ayat 2 huruf a dan hurup b KUHAP.
Kemudian, Jaksa menyatakan sidang pemeriksaan perkara pidana dengan terdakwa Akil dilanjutkan berdasarkan surat dakwaan Penuntut Umum.
JPU KPK Ely Kusumastuti menyatakan soal keberatan terdakwa terkait penangkapan, penahanan, penyitaan dan penyidikan oleh Penyidik KPK, itu bukan materi eksepsi.
Menurut Jaksa, seharusnya diajukan melalui mekanisme praperadilan sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 10 dan pasal 77 KUHAP.
"Terhadap keberatan terdakwa tersebut kami tidak sependapat. Karena penangkapan atas diri terdakwa telah memenuhi definisi tertangkap tangan sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 19 KUHAP," kata Ely.
Dijelaskan Ely, penyidik telah melakukan penangkapan atas Anggota DPR Chairun Nisa dan pengusaha Cornelis Nalau dan Akil Mochtar.
Menurut Ely, Nisa dan Cornelis telah tertangkap tangan datang ke rumah Akil untuk menyerahkan uang kurang lebih Rp 3 miliar memenuhi permintaan terdakwa. Tujuan pemberian uang itu, kata Ely, untuk mempengaruhi putusan perkara permohonan keberatan hasil Pilkada Kabupaten Gunung Mas.
"Kedatangan Hj Chairun Nisa yang didampingi Cornelis Nalau Antun tersebut sudah atas sepengetahuan terdakwa dan dikehendaki oleh terdakwa yang akan kami buktikan dalam pemeriksaan pokok perkara nanti," kata Ely.
Soal keberatan Akil karena penyidik tidak pernah menunjukkan surat perintah penangkapan, Jaksa menilai apa yang dilakukan itu sudah benar sesuai ketentuan pasal 18 ayat 2 KUHAP.
"Dengan demikian sudah tepat jika penyidik KPK tidak menunjukkan surat perintah penangkapan karena dalam hal tertangkap tangan, penangkapan dilakukan tanpa surat perintah," kata Ely.
Jaksa juga tidak sependapat dengan keberatan Akil terkait penyitaan barang, dokumen, surat yang dilakukan Penyidik KPK dengan sprindik 52 dan 58, tidak relevan dengan pasal yang disangkakan.
"Terkait keberatan terdakwa tersebut, kami tidak sependapat. Terkait penyitaan diatur dalam pasal 39 dan 40 KUHAP," kata Ely.
Jaksa juga tak sependapat soal keberatan Akil yang mengaku tidak pernah diperiksa sebagai tersangka berkaitan dengan sprindik 59/01/10/2013 terkait dugaan tindak pidan korupsi pilkada lainnya. Menurut Jaksa, Akil keliru jika mengatakan tidak pernah diperiksa sebagai tersangka terkait sprindik itu.
"Tersangka telah diperiksa sebagai tujuh kali," katanya. Berita Acata Pemeriksaan, lanjut Jaksa, juga telah diparaf dan ditandatangani Akil Mochtar.
Jaksa juga menolak keberatan Akil yang mempermasalahkan pengenaan pasal 3 ayat 1 atau pasal 6 ayat 1 UU nomor 15 tahun 2003 juncto UU nomor 25 tahun 2003. Alasannya, UU tersebut sudah tidak berlaku atau telah dicabut.
Jaksa menjelaskan pasal 95 UU nomor 8 tahun 2010 tidak menghidupkan kembali UU yang lama. Tetapi, berlaku untuk perbuatan sebelum lahirnya UU yang baru. Tujuannya untuk mengisi kekosongan hukum.
"Sehingga sudah tepat jika tinak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh terdakwa sebelum berlakunya UU nomor 8 tahun 2010, dikenakan UU nomor 15 tahun 2002 juncto UU nomor 25 tahun 2003," kata Jaksa.