TRIBUNNEWS.COM – Tak banyak yang tahu jika tanggal 25 April 2014 menjadi hari yang berharga. Tanggal itu merupakan hari peringatan otonomi daerah yang ke-18. Layaknya seorang gadis remaja yang tengah aktif-aktifnya di usia ke-18, di begitu pun otonomi daerah. Di usia ke-18 ini, program-program desentralisasi aktif digelar di Indonesia dalam hal pemerintahan.
Ya, selama 18 tahun, pemerintah telah melakukan ratusan pemekaran di seluruh wilayah Indonesia. Data dari Kemendagri, hingga Juli 2013, daerah otonom di Indonesia berjumlah 539 yang terdiri dari 34 provinsi, 412 kabupaten dan 93 kota.
Otonomi daerah di Indonesia adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sejatinya, program ini seharusnya banyak memberikan kemajuan bagi negara dan memberikan berkah bagi daerah. Setidaknya, otonomi daerah bisa meratakan pembangunan hingga ke pelosok daerah. Daerah yang tadinya kurang terjamah oleh pembangunan, akhirnya bisa menjadi maju.
Sayangnya, pelaksanaan otonomi daerah saat ini masih menjadi pro dan kontra. Daerah merasa pemerintah pusat tidak sepenuh hati melaksanakan otonomi daerah. Sebaliknya, pemerintah pusat seakan enggan memberikan kewenangannya karena masih banyak terjadi masalah yang timbul akibat otonomi daerah ini.
Isran Noor, Ketua Umum Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) dalam beberapa kesempatan mengatakan, otonomi daerah akan menciptakan demokrasi sehingga mampu memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Isran mengeluhkan pemerintah yang dinilainya tidak serius memberikan kebebasan bagi daerah untuk membangun. "Sentralisasi pemerintah pusat pada beberapa hal yaitu politik luar negeri, keamanan, yustisi, pertahanan, moneter dan fiskal nasional dan agama. Mestinya pusat memberikan otonomi yang luas untuk yang lainnya," harapnya.
Pendapat berbeda diungkapkan pengamat otonomi daerah dari LIPI, R Siti Zuhro dan Direktur FITRA, Uchok Sky Khadafi. Menurut mereka, pemberian otonomi yang luas justru akan menciptakan 'raja-raja kecil'. Dana dari pusat ditengarai tidak sampai ke masyarakat karena digunakan oleh elit politik setempat untuk kepentingan mereka. Akibatnya, banyak pejabat daerah yang kini justru tersandung korupsi.
Dalam catatan Siti Zuhro, pelaksanaan otonomi daerah selama rentang waktu 1999-2014 secara umum kurang menggembirakan. Mengapa? Karena otonomi daerah ternyata menyebabkan banyak pimpinan daerah terkena kasus korupsi. Statistik menunjukkan, jumlah pimpinan daerah yang terjerat kasus korupsi cukup fantastis! Angkanya mencapai 318 kepala daerah dan wakil kepala daerah. Di sisi lai, daerah pemekaran yang masih tetap tertinggal pun masih banyak, yaitu 187 kabupaten.
"Good practices dan best practices sekadar sampai di (tingkatan) semangat. Sulit diwujudkan. Kerjasama antardaerah belum semarak dan daya saing lokal belum mengedepan," ujar wanita yang akrab disapa Wiwieq, Senin (14/4/2014).
Menurutnya, melalui pelaksanaan otda, diharapkan mampu memacu pembangunan Indonesia yang dimulai dari daerah sehingga klaster-klaster pertumbuhan ekonomi baru pun berkembang. Namun, nampaknya daerah-daerah menghadapi kendala dan tantangan.
Direktur FITRA Ucok Sky Khadafi bahkan meminta agar program otonomi daerah untuk sementara dihentikan dahulu untuk kemudian dievaluasi kembali. "Pelaksanaan di lapangan banyak yang gagal," keluhnya.
Menurutnya, kegagalan terjadi karena transfer dari pusat berupa dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK) serta dana-dana lainnya tidak efektif. Menurutnya sudah bukan rahasia lagi kalau saat ini di daerah-daerah telah muncul raja-raja kecil yang justru menguasai sumber daya daerah.
"Fakta itu yang membuat pusat masih enggan memberikan sepenuhnya otonomi daerah. Bagaimana bisa, dana yang sebenarnya untuk masyarakat di pelosok tidak disalurkan untuk pembangunan," ujarnya geram.
Menurut Uchok, setiap tahunnya dana alokasi untuk daerah jumlahnya mencapai ratusan triliun rupiah. Jumlah yang luar biasa besar. Sayangnya, tingkat kebocorannya pun lebih dari 10 persen. Karena itu, Uchok meminta agar pemerintah pusat melakukan evaluasi bila ternyata kebijakan ini hanya menimbulkan kerugian yang cukup besar.
Pendapat Uchok diamini oleh Siti Juhro. Ia berpendapat, koordinasi dan sinergi antar jenjang pemerintahan belum tertata memadai, sehingga terkesan mereka jalan sendiri-sendiri. "Fungsi menata daerah yang harus diperankan secara maksimal oleh pemerintah nasional kurang memberikan efek mengikat terhadap daerah. Sehingga terkesan, kadang daerah resisten terhadap pusat. Ini yang semestinya dimaksimalkan," jelasnya kepada Tribunnews.com.
Mengenai hal ini Isran Noor menyatakan, ada sebagian kepala daerah yang memang memperkaya diri dengan melakukan korupsi. Tetapi sebagian lagi terjerat kasus itu karena kesalahan administrasi. Kesalahan administrasi tersebut membuat mereka harus menanggung sangkaan korupsi.
"Sekarang mereka sangat was-was dalam mengeluarkan dana, akibatnya penyerapan dana untuk pembangunan pun tersendat," ujarnya.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda) Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan juga mengakui terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Karena mendapatkan kebebasan, para kepala daerah tak menjalankan tugas mereka dengan semestinya.
Sistem tata pemerintah yang ada, masih buruk sehingga perlu ditata ulang lagi. Dalam UU tersebut, jelasnya, masih ada sejumlah kelemahan sehingga mesti direvisi. Salah satunya adalah menentukan adanya sanksi yang jelas bagi kepala daerah yang tidak menjalankan instruksi Mendagri. "Kalau ada kepala daerah yang tidak menjalankan instruksi Mendagri misalnya, tidak ada sanksi. Hal ini terjadi karena tidak ada aturannya dalam UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah," kata Djohan pekan lalu.
Kemendagri pun tak mampu berbuat apa-apa ketika seorang kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Bahkan ada seorang kepala daerah terpilih yang tetap dilantik meskipun berstatus tersangka kasus korupsi. Karenanya, Kemendagri akan menata ulang aturan-aturan dalam UU No 32 tahun 2004 termasuk mengenai pemilihan kepala daerah.
"Kita sedang mendorong penataan ulang pilkada di dalam revisi UU Pemda. Kemendagri dengan DPR terus memperbaiki kebijakan untuk mengurangi terjadinya kasus-kasus korupsi," ujarnya. Otonomi daerah, dinanti namun tak lupa diawasi. (Hendra Gunawan)